Liang Lahat

Seperti saya, Anda sering mendengar pesan agama. Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Menuntut ilmu tidak pernah berhenti. Seseorang yang terus menuntut ilmu akan memahami bahwa semua hal yang dialami dalam kehidupan adalah …

Seperti saya, Anda sering mendengar pesan agama. Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Menuntut ilmu tidak pernah berhenti. Seseorang yang terus menuntut ilmu akan memahami bahwa semua hal yang dialami dalam kehidupan adalah ruang dan proses belajar.

Orang yang menjalani kehidupan, seharusnya orang-orang yang terus belajar. Apapun yang dialami dalam kehidupan ini, tidak mungkin berhenti pada satu titik tertentu. Ia terus berelasi dengan berbagai perkembangan yang ada, terutama apa yang dialami dalam kehidupan.

Proses belajar demikian juga berlaku untuk semua hal. Apa yang kita alami, kita selalu berproses dan menyadari bahwa apa yang kita alami juga terus berubah. Termasuk di dalamnya bagaimana penyelesaian masalah yang kita lakukan. Terus belajar adalah hal yang harus dilakukan manusia.

Tidak mungkin masalah bisa diselesaikan tiba-tiba dan dengan cepat. Berusaha harus dilakukan, namun apapun yang dilakukan, harus dengan kesabaran dan ketelitian. Jangan hanya gara-gara ingin mencapai hasil dengan cepat, manusia gegabah dalam menyelesaikannya.

Masalah yang terjadi di sekeliling kita, tidak bisa selesai dengan tiba-tiba. Semua ada proses. Itulah yang saya ingatkan suatu waktu. Ada mahasiswa yang menelepon ingin berdiskusi, dan mengira saya sedang ada di kampus. Setelah saya jelaskan bahwa saya sedang di luar kota, diskusi akhirnya berubah. Telepon yang awalnya berniat sebentar, kemudian menjadi hampir satu jam. Diskusi ini memang sudah terlambat. Karena momentum merawat ingatan reformasi sudah lewat. Namun untuk diskusi apapun dan untuk mengingat apapun, sungguh tak dibatasi waktu tertentu. semua waktu boleh dilakukan. Tak ada batas.

Inti diskusi sebenarnya pada bagaimana seseorang harus menyampai aspirasi. Dulu ketika mendekati reformasi, saya ingat beberapa mimbar bebas hanya diikuti beberapa saja. Di dalam kampus, yang dimulai dengan mimbar di depan ruang kuliah umum, hanya diikuti sedikit mahasiswa. Puncaknya, yang jumlah meningkat signifikan sejak tanggal 13 Mei.

Tidak ada yang bisa disalahkan, karena kondisi daerah di Aceh berbeda dengan daerah lain. Terutama kondisi keamanan yang selalu bisa menjadi dalih untuk mengontrol segala sesuatu. Berbeda dengan daerah lain yang kondisi keamanan dan politik biasa-biasa saja.

Mungkin karena tidak memahami kondisi ini, respons mereka yang di luar juga macam-macam. Ada yang mengirimkan pakaian perempuan untuk mahasiswa di sini karena dianggap orang-orang yang ada di sini tidak melakukan apa-apa. Hanya mereka yang pernah berkunjung memahami apa dan bagaimana suasana yang sedang terjadi.

Makanya unjuk rasa itu digelisahkan. Waktu itu unjuk rasa masih berlangsung di kampus. Dua hari kemudian, baru ada gerakan untuk keluar kampus. Itu pun awalnya terhenti di depan badan pustaka. Selepas itu, unjuk rasa semakin banyak. Bahkan setelah reformasi, berbagai hal selalu ditanggapi dengan unjuk rasa. Seperti sudah tidak ada batas. Bahkan beberapa saja mahasiswa, bisa melakukan unjuk rasa di mana saja dan ke kantor apa saja.

Pada kondisi demikian, pertanyaannya, apakah berbagai masalah harus disampaikan dengan unjuk rasa? Lantas bila semua masalah bisa ditampung tidak dengan unjuk rasa bagaimana? Misalnya dengan menyurati secara khusus terhadap kondisi yang ada, lalu berbagai solusi terkait dilakukan? Nah, hal ini juga menimbulkan pertanyaan, bahwa kapan penguasa yang sudah begitu baik menyahuti aspirasi yang demikian? Tidak jarang, aspirasi yang sebenarnya sederhana, harus disampaikan dan dilawan dengan kekuatan pengamanan yang tidak sebanding. Kebaikan dengan datang secara santun, tidak jarang mendapatkan sebaliknya. Ketika datang menyampaikan secara tidak santun pun, tidak ada jaminan aspirasi akan diterima.

Semua memang tidak ada jaminan. Hal penting yang harus diingat bahwa mahasiswa lebih condong dipercaya ketimbang elemen yang lain. Walau mungkin tingkat kepercayaan itu pada kondisi menurun. Jika diukur dengan grafik, titiknya sekarang sedang berada di bawah, yang bukan tidak mungkin ia akan tambah turun dan bisa juga naik.

Kenyataan kepercayaan ini yang harus dirawat. Dalam masyarakat, ada golongan yang dipercaya akan memudahkan untuk menyampaikan sesuatu. Dengan demikian akan mudahkan juga memainkan peran di dalam konteks yang lebih luas. Mahasiswa menjadi kekuatan penting. Dalam menyalurkan aspirasi juga beranjak dari kekuatan penting ini. Banyak kesempatan kesantunan mahasiswa tak jarang dibalas dengan ketidaksantunan, pada posisi demikian pun mahasiswa tetap tidak boleh arogan, apalagi sampai merugikan orang lain dan merusak barang-barang rakyat jelata.

Ketika ada yang menyampaikan aspirasi dengan cara merusak fasilitas umum yang dibiayai dengan uang rakyat, maka sungguh itu tidak berbeda dengan mereka yang juga melukai rakyat.

Makanya jangan pilih yang terakhir itu. Apalagi dengan banyaknya mantan aktivitas mahasiswa yang selama ini menjadi penguasa dan jaringannya, maka dengan jalan santun mahasiswa bisa menyampaikan secara gamblang segala aspirasinya. Mudah-mudahan mereka yang kini sudah mendapat kuasa, juga belum berbeda.

Penyampaian aspirasi secara santun juga harus disahuti dengan cara-cara elegan. Kerapkali penguasa juga tidak mengindahkan sesuatu yang disampaikan dengan santun. Hal ini juga satu hal yang harus dipahami. Sejumlah kasus, respons justru cepat diberikan saat dilakukan dengan cara-cara yang tidak mendidik. Nah ketika jalan semacam ini yang dipilih, ketidakadaban sudah bergeser.

Inilah proses belajar, ketika yang menyampaikan aspirasi juga terus belajar, dan yang menerima aspirasi juga tidak berhenti belajar, termasuk belajar untuk tidak mengutup kuping rapat-rapat.

Saya kira semua orang harus memilih adab dan santun, baik dalam menyampaikan maupun yang menerima.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment