Malam Puasa 12, Membiasakan yang Benar

Di masjid kami, sudah mulai turun jamaah isya —hingga tarawih dan witir. Padahal baru malam 12. Dalam kacamata positif, bisa jadi jamaah ingin tarawih di masjid lainnya. Sambil merasa suasana yang berbeda, yang kadang kala …

Di masjid kami, sudah mulai turun jamaah isya —hingga tarawih dan witir. Padahal baru malam 12. Dalam kacamata positif, bisa jadi jamaah ingin tarawih di masjid lainnya. Sambil merasa suasana yang berbeda, yang kadang kala akan membantu dalam memperbarui tekad menyelesaikan ibadah hingga titik akhir nanti. Jika ada yang sudah turun semangatnya, mudah-mudahan Allah kuatkan lagi besoknya, untuk terus beribadah di bulan mulia ini dan bulan-bulan sesudahnya.

Secara tidak langsung, semua ibadah pada hakikatnya sebagai proses belajar. Saya kira termasuk puasa. Melalui ibadah, kita diasah agar selalu berusaha menjadi lebih baik. Maka idealnya, setiap hari selalu ada peningkatan ibadah, baik kualitas maupun kuantitas. Masalahnya mempertahankan posisi ini bukan sesuatu yang sederhana. Banyak godaan yang dialami setiap manusia, dengan berbagai masalah dalam hidup yang mengelilinginya.

Semua orang memiliki masalah. Itu juga satu hal yang harus dipahami. Bahkan menurut ajaran, justru dengan masalah diharapkan kita bisa terus belajar untuk memperbaiki diri dan kehidupan yang dijalani. Dengan masalah yang menempa, idealnya menjadikan menjadi manusia dengan pribadi yang lebih baik.

Soal pemaknaan, ada dua sisi orang dalam mencapai sesuatu. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa hasil selalu berdasarkan proses. Kategori ini, orang selalu beranggapan bahwa proses yang benar, akan menghasilkan sesuatu yang benar. Proses dan hasil yang benar, sekaligus akan mencapai hasil yang maksimal. Kedua, mereka yang berpikir bahwa proses dan hasil berjalan beriringan. Orang yang demikian, yang penting hasil, tidak peduli bagaimana proses.

Saya akan fokus pada pilihan pertama. Hasil yang ingin dicapai, seyogianya dilakukan dengan proses yang benar. Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya, proses yang buruk, tidak mungkin ada hasil yang baik. Logikanya, orang yang sudah berusaha dengan baik, berproses secara baik pula, maka potensi untuk mendapatkan sesuatu yang baik akan terbuka lebar.

Itulah salah satu bahasa yang bisa dipetik sebagai hikmah dari puasa. Puasa merupakan ibadah yang tidak terlihat. Menahan diri tidak saja dari sesuatu yang membatalkan puasa dan pahalanya, melainkan juga mengarahkan orang untuk menjadi perasa, dan menjaga perilaku dan ucapan yang baik. Sehabis puasa ada sesuatu yang berubah, tentu saja ke arah yang lebih baik.

Begitulah pesan yang ingin disampaikan. Sesuatu yang tepat itu harus dibiasakan. Bukan membenarkan atau membiasakan yang tidak tepat. Dan untuk itu, seperti mengisi sebuah ruang kosong, yang mana orang-orang yang berkualitas dan baik harus mengisi ruang kosong itu.

Mengisi cerita kosong itu sama seperti sebuah gugatan dalam sebuah jamaah. Seseorang yang berada di saf kedua melihat ada orang di saf pertama yang berpakaian tidak pantas. Ia mengeluh. Tetapi orang yang mengeluh itu juga mengeluh dan menanyakan, mengapa orang yang mengeluh itu, yang berpakaiannya pantas, tidak mengisi ruang kosong di saf pertama.

Pengalaman kita, tidak semua jamaah mau berposisi di saf pertama. Soal tepat waktu juga menjadi masalah tersendiri. Selalu ada saja orang yang terlambat, walau jeda antara azan dan iqamah dirasa cukup. Tepat waktu itu, karena sebagian lebih memilih masuk sedikit terlambat agar tidak berada di saf terdepan. Sungguh, saya kira, sebuah misi yang gagal dan tidak baik.

Tepat waktu, tidak selalu pula soal posisi berusaha cepat dan tepat. Jangan sampai teringat pada pengalaman naik satu pesawat yang terkenal dengan delay. Malah timbul kesan lain jika satu waktu ia akan terbang dengan waktu yang tepat seperti tertera pada tiket. Saya pernah punya pengalaman, seorang perempuan, yang duduk persis di depan saya, memperlihatkan tiketnya saat penumpang dipanggil untuk memasuki pesawat. Ia ingin memastikan apakah benar pesawatnya atau pesawat lain. Soalnya pada ketepatan waktu tadi, yang mungkin dari pengalamannya selama ini, ia selalu tidak tepat.

Kejadian ini, bisa dimaklumi ketika naik satu maskapai yang memiliki banyak pengalaman dalam hal penerbangan yang berkebiasaan terlambat, maka ketika ada ketepatan waktu, bahkan sangat tepat, ia justru menjadi aneh. Ada orang yang setengah tidak percaya, bahwa ketika tepat waktu demikian, apakah benar-benar pesawat yang dimaksudkan yang akan dinaikinya. Hal lain yang bisa ditangkap bahwa seseorang ketika naik maskapai yang demikian, sudah menyiapkan diri untuk kondisi yang biasa, yang bahkan justru aneh ketika ia seperti tidak biasanya.

Inti dari suatu pengalaman di atas, menjadi penting untuk mengingatkan kembali bahwa standar harus diberlakukan dengan benar dan lurus. Ada hal yang penting yang harus kita lakukan, sebagaimana anjuran kebijaksanaan, adalah membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. Dengan demikian, apabila selama ini pengalaman tidak tepat waktu, maka yang harus dilakukan bukan membenarkan yang tidak tepat waktu itu, melainkan membiasakan kondisi tepat waktu.

Bagi umat, tepat waktu itu sangat penting mengikuti pentingnya pemanfaatan waktu secara optimal. Ketika waktu terlewati dan kita tidak melakukan apapun atas waktu tersedia, maka kerugianlah yang akan kita tuai. Barangkali dengan menahan diri dari berbagai nafsu, menjadi momentum yang tepat untuk menggelorakan kebiasaan tepat waktu ini.

Yakinlah sesuatu yang baik itu harus diperjuangkan agar ia tetap menjadi sebagai sesuatu yang baik. Semua itu harus dibiasakan. Membiasakan sesuatu yang baik. Jika yang dibiasakan sesuatu yang tidak baik, maka ia akan menjadi kebiasaan yang suatu saat nanti, tidak bisa dibedakan lagi antara yang baik dan yang tidak baik.

Mudah-mudahan Puasa ini menjadikan kita menjadi lebih baik. Memperbaiki diri. Memperbaiki dan menjaga kualitas dan kuantitas ibadah. Dan senantiasa berdoa tiada henti agar setelah bulan mulia ini, kita juga akan mampu menjaganya dengan baik.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment