Malam Puasa 9, Jagalah Batin Bersama

Saya melihat sejumlah video di media sosial, yang menjadikan ibadah sebagai bahan tertawaan. Sebagai sebuah karya, video dibuat dengan sengaja, dengan ragam maksud. Tujuan paling jamak dari orang-orang berkarya adalah mendapatkan pundi-pundi dolar. Contoh video, …

Saya melihat sejumlah video di media sosial, yang menjadikan ibadah sebagai bahan tertawaan. Sebagai sebuah karya, video dibuat dengan sengaja, dengan ragam maksud. Tujuan paling jamak dari orang-orang berkarya adalah mendapatkan pundi-pundi dolar. Contoh video, menjadikan waktu buka puasa yang salah dengar azan. Atau, mereka yang shalat dan melakukan kesalahan di dalamnya, yang dengan kesalahan itu dibayangkan akan menjadi menarik bagi yang menontonnya.

Seyogianya kita tidak boleh lupa bahwa ibadah itu harus dilaksanakan dengan baik. Dalam ajaran agama, fikih, sudah ditentukan bagaimana cara melaksanakan ibadah tertentu. Maka semua tahapan yang diatur dalam ajaran, akan menyakitkan orang-orang yang meyakininya, jika dilakukan sesuka-suka. Apalagi untuk kepentingan yang sangat rendah —memperbanyak penonton.

Ada rasa batin publik beragama, yang seharusnya harus dihormati. Orang-orang yang berkarya harus mendapat tempat untuk menunjukkan kreatifnya, namun bukan karya yang suka-suka, apalagi yang menyakini batin publik. Menjadikan ibadah sebagai bahan candaan, bukanlah contoh berkarya yang baik. itu contoh karya yang rendah dan buruk. Karya yang bisa dibayangkan akan menyakiti banyak orang. Sebelumnya, kita juga disuguhi seseorang yang mengaji sambil bermusik di videonya.

Selain dalam hal-hal hakiki seperti agama, candaan itu sendiri jangan sembarang digunakan. Pangkai pake nibak senda, ujong binasa karu syedara. Satu ungkapan dalam masyarakat Aceh, diingatkan bahwa biasanya keributan itu dimulai dari canda-tawa, senda-gurau yang berlebihan. Orang yang awalnya biasa saja, lalu tiba-tiba tersentuh batinnya. Orang yang tersentuh batin itu, ada yang bisa mengontrol diri. Akan tetapi kerap ada sebagian yang berbuat entah apa-apa.

Di sinilah harus selalu diingatkan bahwa setiap perilaku harus selalu diukur dengan hati. Saat berhubungan dengan orang lain, timbangan perilaku sangat penting. Ia harus dijadikan patokan bersama. Suara batin seseorang akan menentukan bagaimana mereka bisa membina hubungan dengan baik. Semua yang kita ungkap atau lakukan untuk orang lain, harus selalu kita banding-banding seandainya kita pada posisi tersebut. Dengan begini, maka semua yang kita ungkapkan atau lakukan terhadap orang lain, selalu akan terukur. Tidak semua hal yang kita anggap biasa, namun biasa bagi orang lain. Sesuatu yang mungkin bagi kita biasa, bagi orang lain bisa saja menyakitkan.

Tidak boleh hal yang akan menyakitkan kita lakukan. Namun tampaknya, kita sudah sangat terbiasa dengan candaan dan tertawaan yang tanpa batas. Dengan komunikasi yang terbuka, seolah semua hal bisa dijadikan bahan candaan dan tertawaan. Padahal jika kita menggunakan hati, tidak semua hal yang membuat kita bisa saling bercanda dan tertawa, layak dilakukan.

Melalui berbagai media komunikasi, kita menjadi sangat akrab dengan berbagai bahan candaan dan tertawaan, yang salah satunya menyangkut dengan puasa. Bahan candaan ini tidak saja muncul dari masyarakat yang jika diukur secara duniawi berstrata rendah, melainkan juga bisa muncul dari kaum terdidik atau mereka yang mapan secara ekonomi. Maksudnya bisa bermacam-macam. Ada orang yang tidak memiliki maksud apapun selain untuk membuat suasana menjadi lebih segar, dan membuat orang lain santai. Namun demikian, kadang-kadang bahan yang dijadikan candaan tidak disadari sebagai sesuatu yang tidak patut. Selain itu ada yang sengaja mengolok-olok, terutama karena mengalami berbagai hal dalam kehidupannya, sehingga saluran ini menjadi salah satu untuk menjawab apa yang dialami tersebut.

Bahan candaan tentang contoh, sudah berlalu. Dalam beberapa bulan sebelumnya, istilah contoh digunakan untuk memberitahukan sesuatu yang sebagiannya ada yang baik. Mungkin tak selalu sarkastik. Namun bukan berarti tidak bisa melukai. Ada bahan olok-olok yang kadang-kadang hanya untuk membuat sesuatu yang diharapkan tersampaikan. Namun sesuatu itu bukan berarti tidak berkemungkinkan menimbulkan perasaan tersendiri bagi pihak yang jadi sasaran. Berbagai hal yang diumumkan, lalu diakhiri dengan kalimat bahwa hal di atas merupakan contoh saja. Sesuatu yang mungkin diharapkan banyak orang, namun bisa saja tidak masuk akal diimplementasikan, atau diwujudkan.

Suatu kali, misalnya pengumuman tentang rencana pemberian tunjangan hari raya mencapai empat kali gaji yang wajib dibayar pada bulan Puasa, dengan mencantumkan peraturan juga –yang peraturan itu bukan nomor yang sebenarnya. Banyak orang mungkin akan gembira menerima informasi itu, namun ketika diakhir, mendapatkan penjelasan bahwa itu contoh pengumuman tunjangan.

Olok-olok seperti ini seharusnya membuat kita juga kritis ketika menerima bayaran apapun. Banyak orang yang tidak mempertanyakan ketika menerima masukan, tetapi mempertanyakan setiap hal yang menyangkut dengan kewajiban. Bila disederhanakan, giliran berhadapan dengan yang namanya hak, terutama hal yang lebih, ada perasaan bahagia yang berlipat-lipat. Sebaliknya, ketika kewajiban digenjot untuk dijalankan sebagaimana mestinya, justru akan banyak muka tidak senang.

Dalam konteks tersebut, kita menjadi tahu bahwa dengan olok-olok, perasaan orang terhadap sesuatu kadangkala menjadi terbuka. Akan tetapi yang namanya olok-olok, tetapi harus dihindari dan dijaga. Tidak menggunakan olok-olok untuk berbagai hal. Apalagi yang menyangkut dengan ibadah.

Bahan candaan yang menjadikan adzan sebagai contoh. Ketika mendekati magrib, muncul adzan sebelum waktunya, yang ketika selesai adzan lalu muncul pengumuman bahwa itu contoh adzan. Bahan candaan ini sudah jadi olok-olok dan ini tidak pantas dijadikan bahan candaan. Maksud candaan secara sempit ingin membuat orang-orang yang membacanya menjadi cerah dan bahagia. Tentu dengan menjadikan hal-hal yang tidak pantas, walau itu akan melahirkan kondisi cerah dan bahagia bagi orang-orang, tetap harus dihindari dan dijaga. Berhentilah untuk menjadikan hal-hal semacam itu sebagai contoh, bahan candaan, bahkan menjadi bahan olok-olok.

Untuk pribadi seseorang kadang-kadang juga tidak terkontrol. Kita mencontohkan posisi orang lain terhadap apa yang kita jadikan bahan tertawaan, namun tidak mempertimbangkan bagaimana perasaan orang yang menerima tertawaan itu. Bukankah ironis jika tidak memperhitungkan demikian. Seolah kita ingin senang dengan tertawa, namun dengan cara yang menyakitkan perasaan orang.

Hal semacam ini bisa dibalik. Kita bisa memahami apa yang terasa menyakitkan bagi kita dari orang lain. Bukankah sesuatu yang bagi kita sakit, belum tentu dari mereka sama seperti yang kita rasakan? Saling menggunakan rasa inilah yang sangat dibutuhkan, agar suasana harmonis tetap terjaga. Orang bijak mengatakan, kehilangan satu orang teman itu akan menyakitkan. Maka jangan sia-siakan mereka. Orang-orang yang sering membuat masalah, biasa jadi suatu saat ia akan merasakan masalah-masalah yang dibuat itu.

Bulan Puasa, seyogianya menjadi momentum untuk saling menjaga kondisi dan suasana –termasuk menjaga semua batin agar damai dan tentram. Dengan puasa, berbagai derita juga harus dimaknai dengan sabar.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment