Mampu dan Sempat

Ada satu hal yang harus dibedakan secara operasional dalam konteks berbuat baik, yakni antara kemampuan dan kesempatan. Mampu dan sempat. Ada satu lagi, yakni kemauan (mau). Kata yang disebut terakhir, dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan …

Ada satu hal yang harus dibedakan secara operasional dalam konteks berbuat baik, yakni antara kemampuan dan kesempatan. Mampu dan sempat. Ada satu lagi, yakni kemauan (mau). Kata yang disebut terakhir, dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan sungguh-sungguh suka, hendak. Sedangkan mampu berarti kuasa melakukan sesuatu. Sementara sempat, bermakna ada waktu, ada peluang atau keluasan. Berdasarkan makna tersebut, kita bisa membedakan ketiganya.

Dari ketiga hal itu, tergantung pula sudut pandang, mengenai yang mana lebih dulu yang penting dilakukan. Ada orang yang beranggapan bahwa mau (kemauan) sangat penting pada posisi pertama. Seseorang yang memiliki kemauan, merunut kata pepatah, pasti ada jalan. Ketika ada kemauan, akan muncul banyak jalan untuk mewujudkannya. Begitu kira-kira orang yang memiliki sudut pandang demikian. Berbeda dengan orang lainnya, yang beranggapan bahwa mampu (kemampuan) adalah segala-galanya. Seseorang yang tidak berkemampuan, akan sia-sia walau ia memiliki kemauan dan kesempatan. Orang yang demikian, merasa sesuatu yang mau dilakukan, harus disemangati oleh adanya sesuatu yang ada pada diri kita terlebih dahulu. Orang demikian beranggapan bahwa kemampuan tidak mesti dalam makna materi. Sedangkan satu lagi, masalah kesempatan. Orang yang terakhir ini berkilah bahwa apapun yang dilakukan, selalu ditentukan oleh kesempatan yang ada.

Jika ketiga pihak ini dikonfrontir, dengan semangat emosional masing-masing, dipastikan sulit untuk mendapatkan titik temu. Tiga titik pandang bagi mereka masing-masing akan sangat menentukan landasan dari pilihannya. Begitulah. Namun jika semua mau mundur selangkah, target apa yang mau dilakukan akan dicapai.

Dalam hal berbuat baik, kesempatan menjadi alasan utama banyak orang. Padahal perbuatan baik itu tersedia dari kadar yang ringan hingga kadar yang mungkin tingkat tinggi. Tentu orang yang tidak bisa melakukan perbuatan baik pada kadar yang ringan, patut dipertanyakan bila kesempatan yang dialasankan. Rasanya semua orang selalu memiliki peluang untuk mewujudkan perbuatan baik pada kadar ini. Ketika sedang di jalan, lalu menemukan paku atau duri, hanya tinggal menyingkirkan saja ke pinggir jalan, bukankah itu sangat berkesempatan untuk dilakukan?

Soal semacam ini akan kembali kepada mau atau tidak kita melakukannya. Barangkali untuk perbuatan baik yang kadar tingkat tinggi, akan dipertanyakan kemampuan. Namun untuk kebaikan yang disebut di atas, tentu hanya butuh sedikit tenaga. Sekali lagi, mau atau tidak. Orang yang tidak ada kemauan, akan memberi berbagai alasan. Pada posisi demikian, sebenarnya seseorang sedang mengalami ketidakberdayaan akut untuk berbuat baik. Kita tidak boleh membiarkan diri kita berada pada kondisi yang demikian. Ketidakberdayaan itu harus dilawan. Tidak membiarkan ia terus menggerogoti lahir dan batin kita. Hal demikian bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment