Masih Pentingkah UUPA?

Agustus, seharusnya menjadi momentum yang penting bagi Aceh. Bulan damai dan lahirnya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Bagi masyarakat Aceh dan Indonesia, dua momentum itu sangat penting terkait perjanjian perdamaian dan mengakhiri konflik yang telah berlangsung …

Agustus, seharusnya menjadi momentum yang penting bagi Aceh. Bulan damai dan lahirnya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Bagi masyarakat Aceh dan Indonesia, dua momentum itu sangat penting terkait perjanjian perdamaian dan mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih 30 tahun.

Saya kira konsiderans UUPA jelas menyebut hal ini. Di satu sisi menyebut bagaimana konflik itu berhasil dihentikan dengan perdamaian. Di sisi lain, peristiwa tsunami juga tidak boleh diabai mempengaruhi keputusan kedua pihak untuk sepakat berdamai.

Momentum ini yang ingin saya ingatkan kembali. Sejumlah opini yang pernah saya tulis, mengingatkan bahwa UUPA itu bukan undang-undang biasa. Ia harus dilihat dalam konteks yang luas, sebagai kompensasi dari kesepakatan menghentikan konflik menuju perdamaian (“Sewindu UUPA”, Serambi, 12/8/2014; “Pertaruhan UUPA, Serambi, 27/2/2020).

Masalahnya adalah hiruk pikuk perayaan damai dan momentuk merefleksikan UUPA, terkesan menurun dalam dua-tiga tahun terakhir. Entah kenapa? Kadang-kadang angin UUPA menghembus saat menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Bahkan hingga tiga hari menjelang 15 Agustus, tak ada juga tanda-tanda ada agenda sesuatu untuk merefleksikan dua peristiwa besar tersebut. Kondisi ini kadang-kadang menyebabkan pertanyaan serius, masih pentingkah UUPA bagi Aceh?

 

Papua semakin di depan

Sudah mulai ada sebagian orang yang menjadikan UUPA sebagai bahan gunjingan. Tentu realitas politik lokal selalu terbuka juga dijadikan berbagai meme dalam media sosial.

Ada hal penting yang ingin saya ingatkan terkait UUPA ini, terutama kewenangan yang dimiliki Aceh. Konsekuensi dari UUPA ini, juga terkait dana otonomi khusus, yang dalam enam tahun lagi akan habis, setelah dikurangi dalam beberapa tahun terakhir.

Lagi-lagi harus ada introspeksi yang harus dilakukan. Pemerintah Aceh dan DPR Aceh belum menyelesaikan qanun-qanun yang diperintahkan UUPA. Bagaimana mengkritik pihak lain, sementara yang menjadi kewajiban sendiri saja belum tuntas.

Dengan kondisi politik lokal semacam ini, apakah memungkinkan dana otonomi khusus ini akan dinegosiasikan kembali? Pertanyaannya siapa yang akan melakukan negosiasi ini? Kekuatan politik apa yang dimiliki Aceh untuk melakukan negosiasi tersebut.

Dana otonomi khusus Aceh itu, hanya tersisa enam tahun lagi. Sejumlah politisi yakin dana itu akan dilanjutkan setelah 2027 sebagaimana yang telah didapat Papua (Serambi, 6-7/8/2021). UU Papua telah disahkan revisinya oleh pemerintah oleh tanggal 15 Juli 2021.

Ada hal penting lain yang juga harus diingatkan. Langkah-langkah politik progresif dan strategis yang dilakukan politisi Papua jauh di depan dibandingkan Aceh. Dengan kondisi begini, apakah rasional dana otonomi khusus itu akan mendapat momentum lainnya untuk dilanjutkan?

 

Mari berefleksi

Keadaan semacam itu, ada harapan agar kita melakukan banyak refleksi. Dalam bulan ini, ada dua peristiwa penting di Aceh, selain ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus. Pertama, penandatanganan perdamaian (15 Agustus 2005). Kedua, berdasarkan perdamaian tersebut, ada konsensus politik, hitam di atas putih, berupa lahirnya UUPA (1 Agustus 2006).

Biasanya setiap tahun selalu ada perayaan untuk merefleksikan ketiga even tersebut. Namun akhir-akhir ini, usaha untuk mengingat UUPA sepertinya mengendur. Ketika berbicara UUPA, ada kesan seperti ada diantara kita yang kehilangan semangat.

Awal Agustus ini, seorang teman mengirim kenangan kami di media sosial. Proses penerbitan buku, sekira empat tahun yang lalu. Buku tersebut digagas bersama diiringi seminar nasional yang dilaksanakan di kampus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, sebagai refleksi sekaligus membahas perkembangan UUPA dan otonomi khusus Aceh. Waktu itu, Harian Serambi Indonesia menaikkannya dalam tiga berita cetak, sekitar seperempat halaman koran (“Beberapa Ketentuan UUPA Masih Terhambat” Serambi, 16/8/2016).

Seperti halnya seminar nasional itu, kenangan di muka media sosial teman saya itu, juga sepi peminat dan komentar. Dalam satu grup WhatsApp (WA), yang khusus tentang UUPA, kesannya sepi ini terasa sekali. Belum lagi ada sejumlah grup WA yang sudah mulai tidak ada respons saat isu UUPA ini dibuka. Hal ini tentu tidak bisa menjadi indikator tunggal untuk melihat bagaimana perhatian publik terhadap UUPA ini.  Sejumlah keadaan tersebut, seyogianya menjadi catatan kita.

Dengan kondisi yang melempem, rencana untuk melakukan revisi UUPA pun harus dipikir ulang. Keinginan revisi tetap ada risiko. Proses politik di ruang politik gencar dengan tulak-tarek. Jangan sampai saat ingin memasukkan sesuatu yang masih kurang, justru kelebihan di dalamnya yang akan keluar dan tergerus.

 

Melawan lupa

Saya ingin mengingatkan bahwa UUPA itu sebagai undang-undang yang perlu mendapat perhatian khusus. Saya sebut undang-undang ini sebagai “bukan undang-undang biasa”, ia undang-undang penting yang dibentuk dengan latar belakang yang penting. Konflik Aceh lebih 30 tahun dicantumkan secara eksplisit dalam kondiseransnya. Maka keberadaan UUPA tidak bisa disamakan seperti melihat undang-undang yang lain.

Karena bukan undang-undang biasa, UUPA bisa dimaknai secara khusus. Secara akademis, memang ada debat antara memorandum of understanding (MoU) sebagai dasar pembentukan suatu legislasi dengan undang-undang yang dilahirkan. Inilah yang unik dari UUPA yang lahir dari MoU yang diteken di Helsinki. UUPA adalah teks hukum, sedang MoU adalah pegangan untuk mengukur sejauhmana teks hukum itu bisa berjalan sesuai konsensus yang disepakati kedua pihak.

Dalam perspektif ini, tidak mungkin memisahkan UUPA dari MoU, karena keduanya saling berkaitan. UUPA lahir karena konsensus yang disepakati dalam MoU. Namun MoU tidak bisa dijadikan alat yang operasional dalam menyelesaikan berbagai persoalan hubungan Aceh-Jakarta, makanya disepakati UUPA.

Untuk berbagai kepentingan itulah, proyek melawan lupa sangat penting. UUPA tidak sekedar lagi hanya sebagai konsensus politik yang penting bagi Aceh dan Republik. Lebih dari itu, ia menjadi pencatat dan penawar konflik yang berdarah-darah selama puluhan tahun. Melawan lupa ini yang harus dijelaskan kepada generasi-generasi berikutnya. Sebagian generasi milenial tahu Aceh pernah terjadi konflik. Pengetahuan ini penting untuk memberi gambaran bahwa konflik itu penuh kepahitan.

Sebagai sebuah proyek melawan lupa, selain sebagai konsensus, langkah untuk menghindari tidak terulangnya konflik, merupakan titik penting pesan bagi generasi mendatang. Sudah cukup nyawa dan darah ketika konflik Aceh yang sudah berlangsung dalam sejumlah episode. Jangan biarkan bertambah lagi ada anak-anak yatim dan janda karena ada yang meninggal dunia dicatat setiap harinya.

Bagi saya, hal ini sangat penting. Dengan demikian, saat sampai pada momentum lahirnya UUPA, tidak sekedar ia dibaca sebagai satu undang-undang yang mengatur kekhususan bagi Aceh, melainkan jauh melampaui itu. Ia menjadi alat bagi penyelesaian konflik.

Mudah-mudahan terasa kendur untuk mengingat UUPA bukan karena memudarnya semangat. Gelora menjaga perdamaian harus terus digerakkan, dengan perencanaan dan konsep yang harus tersusun secara sistematis. Jangan sampai Aceh tidak memiliki apa-apa setelah semuanya usai. Mari meninggalkan catatan untuk pemahaman dan bahan pencerahan bagi generasi, sekaligus refleksi bagi umat manusia.

 

Serambi Indonesia, 18 Agustus 2021

https://aceh.tribunnews.com/2021/08/18/masih-pentingkah-uupa

Leave a Comment