Pernahkah Anda memperhatikan, berapa banyak orang atau pihak yang sangat malu ketika tidak bisa menunaikan kewajibannya? Seorang pekerja, baik ia bekerja pada pemerintah atau pada swasta, yang merasa tidak pantas ketika tidak melaksanakan dengan baik –apalagi sampai menerima pembayaran yang diklaim sebagai hak lalu melupakan kewajiban bisa berjam-jam atau berhari-hari tidak produktif di ruang kerja?
Mereka yang telah menerima imbalan dari publik untuk memberi pelayanan tertentu, masuk juga dalam kategori demikian. Apakah juga merasa bersalah ketika tidak bisa memberikan pelayanan dengan baik? Atau justru semakin merasa bahagia? Pilihan yang saya sebut terakhir itu, sebagai pilihan orang yang sakit.
Mari kita mencontoh pada mereka yang berjualan. Mereka pasti ingin apa yang dijualnya laku keras. Implikasi dari lakunya barang adalah melonjaknya pendapatan dan perputaran modal. Lebih jauh akan banyak orang yang bisa tertolong dengan bekerja. Sebaliknya ketika yang terjual sedikit, maka otomatis perputaran dan pendapatan akan menurun. Orang-orang yang memahami proses ini, niscaya akan berjuang keras untuk menarik konsumen sedemikian rupa. Salah satunya adalah dengan pelayanan yang baik.
Konsep pelayanan sesungguhnya tidak hanya sebatas pada proses memberi atau menerima. Secara lebih dalam, ia harus dikaitkan dengan rasa bahagia atau berharap balasan yang luar biasa dari Pencipta. Orang-orang yang harus bermental bahwa membantu dan memberikan sesuatu kepada orang lain secara hak, akan mendatangkan kebahagiaan. Selain itu akan mendapat berkah.
Siapapun yang memberi pelayanan publik atau yang menarik sesuatu dari konsumen, sekali lagi, harus merasakan hal ini. Listrik yang mati harus segera memberi penjelasan kepada konsumen. Bukan tanpa pemberitahuan ketika mati listrik bisa berjam-jam.
Masalah mati lampu, jika diiringi dengan pikiran negatif, maka banyak pertanyaan secara beruntun. Mengapa tiba-tiba mati lampu? Bagaimana dengan hak konsumen yang sudah menunaikan kewajibannya tepat waktu? Dan lain-lain.
Sebaliknya, apabila pikiran yang positif muncul, akan menduga barangkali ada sesuatu yang terjadi dan tak bisa diduga. Sama seperti suatu kali, sebuah gardu dekat rumah kami tinggal tiba-tiba meledak. Malam itu hujan agak lebat. Tak berapa lama, petugas datang, dalam hujan diperbaiki, lalu sekitar lima jam kemudian, listrik kembali menyala. Dalam posisi demikian, tentu tidak semua bisa disalahkan.
Makanya ketika listrik mati, saya mencoba berfikir positif. Pertama, karena di sini memang jarang mati lampu. Bukan seperti di kampung saya, sebentar-bentar mati lampu. Tak jelas jadwal, entah siang atau malam. Tak ada hujan, bahkan di tengah terik, kadang-kadang juga mati. Orang banyak membaca komentar enak di media. Mereka yang bertanggung jawab tidak dengan apa adanya mengatakan sesuatu apa yang menjadi inti masalah. Seperti bola pimpong, dilempar ke sana dan ke sini. Nah, orang lalu merasakan sebuah istilah, “cakap tak serupa bikin”, maksudnya apa yang dibaca di media oleh banyak orang, ternyata berbeda dengan kenyataannya. Itu yang tidak terjadi di sini. Jadi ketika sekali-kali mati lampu, pikiran positif akan menuntun untuk berfikir dan mencoba merasakan penderitaan wilayah yang sering mati lampu, atau bahkan masyarakat yang hingga kini belum merasakan adanya listrik.
Kedua, ajakan untuk tak banyak berkelah kesah, tidak lantas membuat mereka yang bertanggung jawab terhadap listrik tidak melakukan apa-apa. Di sini harus diimbangi dengan apa yang seharusnya menjadi haknya konsumen. Pengelola listrik harus berprinsip bahwa pelayanan untuk kebahagiaan mereka yang sudah membayar kewajiban, tak sebatas pemenuhan hak sebagai konsumen, melainkan posisi mereka sebagai bagian dari warga negara yang harus diposisikan sebagai pihak yang memang seharusnya menerima kebahagiaan dari pelayanan itu. Jadi secara positif juga, ada perasaan gelisah tiada tara, seharusnya bagi mereka yang melayani, ketika sesuatu yang bertolak belakang dirasakan oleh orang banyak.
Saya kira dua alasan ini akan berpadu untuk masing-masing menjaga apa yang menjadi kewajibannya. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka akan muncul kebahagiaan lain, di mana perasaan bahagia tiada tara ketika telah berhasil melakukan tugas dengan baik. Di sini, ujung dari tugas, tak semata-mata hanya karena menerima kompensasi sejumlah bayaran di awal bulan –yang kita namakan dengan gaji atau honorarium—melainkan sesuatu yang dilakukan untuk memberi sebanyak mungkin manfaat bagi sekalian orang. Pada tingkatan yang lebih tinggi, orang yang demikian sudah merasa bayaran baru nyaman diterima ketika tugasnya benar-benar telah layak dan selesai. Ada perasaan lain ketika itu tak terselesaikan dengan baik. Mentalitas semacam ini, tentu bukan sesuatu yang tidak bisa dicapai. Dengan semangat dan tekad yang kuat, kita yang bekerja di semua bidang, bisa melakukannya sepenuh hati.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.