Membaca Realitas Hukum

Saya ingin kembali ke posisi awal, tentang pentingnya penegasan hukum sebagai panglima. Penegasan ini, kita bisa merujuk pada konteks asas-asas hukum yang menegaskan semua orang memiliki posisi yang sama di depan hukum. Ada asas hukum …

Saya ingin kembali ke posisi awal, tentang pentingnya penegasan hukum sebagai panglima. Penegasan ini, kita bisa merujuk pada konteks asas-asas hukum yang menegaskan semua orang memiliki posisi yang sama di depan hukum. Ada asas hukum yang berbunyi equality before the law. Namun sebelum saya jelaskan konteks ini, ada satu perbedaan pandang yang sering terjadi dalam melihat makna asas dan prinsip. Ada sarjana hukum yang menggunakannya secara berbeda.

Jika merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Paul Scholten, yang dimaksud asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada (Mertokusumo, 2005). Scholten sendiri adalah seorang sarjana hukum terkemuka Belanda, yang seluruh karirnya dihabiskan di Belanda, namun memiliki goresan historis dalam pendidikan hukum di Indonesia. Terutama dalam pendirian sekolah hukum pertama di Batavia, semasa pendudukan kolonial Belanda (Manullang, 2023).

Ada satu karya penting yang ditulis Scholten, Struktur Ilmu Hukum, yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta –begawan hukum dari Universitas Parahyangan. Karya ini dituliskannya berkaitan dengan perdebatan konsep keilmuan hukum yang kerap diperdebatkan saat awal, terutama ketika masa kolonial. Ia memaparkan karakter keilmuan dari hukum, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks keadilan dan ilmu (Scholten, 2013).

Dengan demikian dapat ditegaskan, asas adalah sebagaimana salah satu diungkapkan oleh Scholten. Sedangkan prinsip hukum, pada dasarnya perwujudan dari hukum positif nasional dan internasional dari suatu negara yang berbeda dengan yang lainnya, antara yang dahulu dengan sekarang. Menurut Eddy Hiariej, prinsip lebih luas dari asas. Prinsip pada dasarnya lebih luas dan mendalam (Hiariej, 2017). Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia online (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/prinsip), prinsip disamakan dengan asas. Yang dimaksud dengan prinsip adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya); dasar.

Perbedaan penggunaan yang sering bertukar terkait konteks equality before the law, hanya untuk menegaskan pemahaman saja –terserah, kita akan memosisikannya pada asas atau prinsip. Dalam konteks Indonesia, equality before the law dapat dibaca dalam sejumlah pasal konstitusi yang menegaskan kesamaan di depan hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahaan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada ayat (2), diatur tentang “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layat bagi kemanusiaan”. Sedangkan dalam Pasal 28 disebutkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Setelah amandemen, Pasal 27 ditambah ayat (3) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Tambahan lain Bab XA Hak Asasi Manusia, memuat apa saja yang menjadi hak dari setiap orang sebagai warga negara.

Begitulah konstitusi menjamin, bahwa kesamaan di depan hukum harus dioperasionalkan dalam wujud perlakukan yang adil dari penegak hukum dan pemerintah. Itulah hal lain yang bisa ditangkap dari bagaimana hukum itu berposisi sebagai panglima –suatu penegasan yang bukan untuk main-main. Penegasan panglima terkait dengan upaya penyelenggaraan hukum. Artinya sejak dari awal, ketika pembentukan hukum, sudah ingin dikuatkan hukum, untuk menjadikannya sebagai alat pencapaian apa yang seharusnya disebut dengan kebahagiaan.

Akan tetapi dalam perjalanan, hukum sering dijadikan alat politik dan kekuasaan. Orang-orang yang memegang kekuasaan politik, sering tidak bisa memeguh teguh kenegarawanannya dengan pola-pola menjadikan hukum sebagai alat mainan yang merusak tatanan bangsa dan negara.

(Sumber foto: rmol.id)

Leave a Comment