Terlepas bagaimana pandangan para sarjana hukum terhadap penerimaan sistem hukum pascakemerdekaan, namun memperjelas konsep keilmuan sangat penting. Secara konsep, perbedaan hukum adat dan hukum modern, penting untuk diuraikan.
Perdebatan pada aras awal bermula dari perbedaan aliran hukumnya. Perbedaan ini yang membuat pemahaman dan pemaknaan berbeda atas apa yang disebut sebagai hukum itu. Di satu sisi, terutama aliran positivisme hukum, yang mensyaratkan hukum sebagai produk kekuasaan dan tertulis, lalu pada sisi lainnya, hukum historis yang menyebut hukum bukan dibentuk, melainkan terbentuk dengan sendirinya.
Perbedaan pemahaman dan pemaknaan, selanjutnya akan berbeda dalam opersional keilmuannya. Oleh Profesor Satjipto Rahardjo, menggambarkan hukum adat masih mendapat tempat di Indonesia. Hukum adat masih merupakan bagian dari struktur sosial masyarakat Indonesia. Penerimaan hukum adat sejauh mungkin sesuai/menunjang politik hukum yang dijalankan (Rahardjo, 2009).
Prof Tjip membedakan dalam konteks sistem nilai, antara hukum adat denga napa yang disebutnya sebagai hukum modern. Pertama, hukum adat, berbasis pada nilai yang bersifat religiomagis, komun, dan menghindari konflik. Postulat dari nilai hukum adat adalah: (1) hukum itu hendaknya menjaga keseimbangan; (2) hukum itu hendaknya mempertahankan suasana; (3) hukum bekerja tidak atas dasar pembedaan-pembedaan, tetapi menyamakan (tidak ada perbedaan hukum publik dan privat, persoonlijkrecht dan zakalijkrecht); dan (4) keputusan hukum tidak ditujukan pemenuhan hak dan pemenuhan tuntutan pereorangan.
Kedua, hukum modern memiliki nilai: (1) mengagungkan mutlak individu; (2) berorientasi pada kemajuan, pertumbuhan, dan perubahan. Sedangkan postulat untuk hukum modern adalah: (1) melindungi dan memajukan hak-hak individu; (2) hukum hendaknya dipakai sebagai sarana yang sadar untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan.
Seorang pluralis hukum, Profesor Gordon Woodman, guru besar di Law School Birmingham, menyebut istilah hukum negara dan hukum di luar negara, untuk membedakan hukum modern dan hukum tradisional. Terminologi ini sendiri dalam buku-buku tentang pluralisme hukum, sering kali disebut atau dimaknakan secara berbeda.
Untuk membedakan hukum modern dan hukum tradisional, Goordon R. Woodman menggunakan istilah lainnya, yakni hukum negara di satu pihak, dan di pihak lain ada hukum di luar negara yang menurutnya mencakup hukum asli, hukum adat, dan hukum lokal.
Berdasarkan cara pemahaman demikian, keduanya bisa dibedakan sebagai berikut. Pertama, untuk kategori state law, antara lain: (1) sebagai doktrin/ajaran; (2) disahkan oleh teks resmi; (3) disahkan melalui asal mula logika dari suatu norma dasar; (4) sebagai proses dari pengadilan negara; (5) berasal dari pengambilan sistem hukum kolonial (sebagian/seluruhnya) kemudian dikembangkan. Kedua, yang dikategorikan sebagai the other law (di dalamnya ada folk law, customary law, dan local law), antara lain: (a) fakta sosial yang tumbuh dari bawah; (b) disahkan oleh ketaatan akan seperangkat kebiasaan; (c) disatukan oleh ketaatan dalam suatu masyarakat; (d) sebagai proses penyelesaian sengketa di luar lingkup negara; (e) tumbuh dari msyarakat setempat (Woodman, 1995).
Salah satu aspek dari konsepsi hukum modern –atau Woodman menyebutnya hukum negara—yang mempunyai arti penting adalah ciri instrumental dari hukum modern tersebut, yaitu penggunaannya dengan sengaja untuk mengejar tujuan-tujuan atau untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik, sosial, dan ekonomi yang diambil oleh negara.