Membiasakan yang Benar

Ada dua kategori orang dalam mencapai sesuatu. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa hasil selalu berdasarkan proses. Kategori ini, orang selalu beranggapan bahwa proses yang benar, akan menghasilkan sesuatu yang benar. Proses dan hasil yang benar, …

Ada dua kategori orang dalam mencapai sesuatu. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa hasil selalu berdasarkan proses. Kategori ini, orang selalu beranggapan bahwa proses yang benar, akan menghasilkan sesuatu yang benar. Proses dan hasil yang benar, sekaligus akan mencapai hasil yang maksimal. Kedua, mereka yang berpikir bahwa proses dan hasil berjalan beriringan. Orang yang demikian, yang penting hasil, tidak peduli bagaimana proses.

Saya akan fokus pada pilihan pertama. Hasil yang ingin dicapai, seyogianya dilakukan dengan proses yang benar. Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya, proses yang buruk, tidak mungkin ada hasil yang baik. Logikanya, orang yang sudah berusaha dengan baik, berproses secara baik pula, maka potensi untuk mendapatkan sesuatu yang baik akan terbuka lebar.

Itulah salah satu bahasa yang bisa dipetik sebagai hikmah dari puasa. Puasa merupakan ibadah yang tidak terlihat. Menahan diri tidak saja dari sesuatu yang membatalkan puasa dan pahalanya, melainkan juga mengarahkan orang untuk menjadi perasa, dan menjaga perilaku dan ucapan yang baik. Sehabis puasa ada sesuatu yang berubah, tentu saja ke arah yang lebih baik.

Begitulah pesan yang ingin disampaikan. Sesuatu yang tepat itu harus dibiasakan. Bukan membenarkan atau membiasakan yang tidak tepat. Dan untuk itu, seperti mengisi sebuah ruang kosong, yang mana orang-orang yang berkualitas dan baik harus mengisi ruang kosong itu.

Mengisi cerita kosong itu sama seperti sebuah gugatan dalam sebuah jamaah. Seseorang yang berada di saf kedua melihat ada orang di saf pertama yang berpakaian tidak pantas. Ia mengeluh. Tetapi orang yang mengeluh itu juga mengeluh dan menanyakan, mengapa orang yang mengeluh itu, yang berpakaiannya pantas, tidak mengisi ruang kosong di saf pertama.

Saya pernah mengalami kejadian lain. Di depan saya, dua hari yang lalu ketika pulang dengan satu maskapai, ada seorang perempuan muda –penampilannya seperti mahasiswa—yang menanyakan secara serius kepada seorang pemeriksa tiket, bahwa apakah benar panggilan untuk naik ke dalam pesawat ditujukan untuk nomor penerbangan yang dipegangnya. “Apakah boarding pass saya betul?” Ia berulang berusaha mendapat kepastian. Jika kita ingin menebak-nebak, mungkin dalam batinnya, ketika pertanyaan yang demikian muncul dan yang bisa ditangkap oleh orang yang kebetulan berada di dekatnya yang juga sedang diperiksa tiket, adalah jangan-jangan bukan (penerbangan) itu. Akan tetapi dengan nomor penerbangan yang disebutkan jelas, tidak salah, berdasarkan nomor yang dipegang pada tiketnya.

Kejadian ini, bisa dimaklumi ketika naik satu maskapai yang memiliki banyak pengalaman dalam hal penerbangan yang berkebiasaan terlambat, maka ketika ada ketepatan waktu, bahkan sangat tepat, ia justru menjadi aneh. Ada orang yang setengah tidak percaya, bahwa ketika tepat waktu demikian, apakah benar-benar pesawat yang dimaksudkan yang akan dinaikinya. Hal lain yang bisa ditangkap bahwa seseorang ketika naik maskapai yang demikian, sudah menyiapkan diri untuk kondisi yang biasa, yang bahkan justru aneh ketika ia seperti tidak biasanya.

Leave a Comment