Memikirkan tentang Mengapa Bernegara Hukum

Mengapa catatan ini lahir? Rasanya penting untuk sedikit saya beri penjelasan. Setidaknya, sebagai gambaran hingga sampai di mana nanti ia direncanakan. Pada dasarnya, catatan ini juga tidak direncanakan dengan baik dari awal. Tiba-tiba saja, ia …

Mengapa catatan ini lahir? Rasanya penting untuk sedikit saya beri penjelasan. Setidaknya, sebagai gambaran hingga sampai di mana nanti ia direncanakan. Pada dasarnya, catatan ini juga tidak direncanakan dengan baik dari awal. Tiba-tiba saja, ia muncul begitu saja saat seorang teman menanyakan sejak kapan saya menulis di blog kupiluho, setiap harinya. Jika dalam blog, saya jawab, saya mulai mengisinya sejak 1 Maret 2015. Tetapi, menulis dalam ruang yang lain, sudah mulai jauh sebelumnya. Opini-opini di suratkabar, sudah mulai sejak awal berada di kampus sebagai mahasiswa.

Blog ini sudah berusia sepuluh tahun, dengan berbagai isi di dalamnya. Sebagaimana spiritnya, kolom di dalamnya beraneka ragam. Ada yang serius, banyak pula yang tersampaikan begitu saja. Saya berharap tidak ada catatan-catatan di dalamnya yang seperti buih, hilang dan menguap begitu saja. Walau ada sebagian yang digarap tidak serius, bukan bermakna sebagai main-main, melainkan hanya mengeksplisitkan posisi santainya.

Usia sepuluh tahun itulah, saya ingin memberi catatan tentang negara hukum. Tentu saja, negara hukum bukan dalam makna ilmiah, yang dituliskan berbasis pada data riset mendalam. Catatan ini berusaha dari potongan realitas sosial yang kadang kala banyak batasnya.

Dunia hukum –sebagai ruang akademis—sedang diuji berkali-kali. Kekuasaan politik kerap mempermainkan hukum hanya sebatas alat untuk mencapai tujuan. Tak lebih, Menggunakan hukum tak benar-benar untuk menegakkan hukum. Dalam dunia politik, hukum kerap digunakan untuk memberangus lawan-lawan politik.

Saat dua tahun usia pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Saldi Isra menyampaikan satu catatan penting yang menyebut penegakan hukum semakin buram. Pelaksanaan hukum tertatih-tatih dan sepertinya pemerintah belum menjadikan hukum di saf pertama. Ia menawarkan apa yang disebutnya sebagai peta jalan reformasi hukum dan penegakan hukum. Dengan jalan ini, institusi penegak hukum bisa digerakkan dengan baik, terutama dalam struktur hukum internal yang tidak memperlihatkan kemajuan dalam berhukum (Isra, 2016).

Dengan realitas penegakan hukum, kemudian bisa ditarik ke arah yang lebih fundamental untuk mempertanyakan cara berhukum dan bahkan negara hukum kita. Ada hal fundamental yang penting untuk dijawab, yakni mengapa bernegara hukum? Bukankah bisa saja negara ini tidak memilih negara hukum sebagai bentuknya?

Jika runut, ternyata pilihan ini tidak sederhana. Para funding father sudah memikirkannya sejak lama. Saat republik ini diproklamirkan. Realitas berhukum, turut dipengaruhi oleh belum tuntasnya para pelaksana hukum dalam memahami hukum. Pada lapis kedua, masih adanya pelaksana hukum yang tidak berpikir bahwa pelaksanaan hukum sebagai jalan bagi meneguhkan negara hukum. Ketika belum sampai pada tingkat fundamen yang dingginkan, dengan demikian masih ada ruang untuk mendiskusikan ada masalah apa dengan negara hukum kita.

Catatan inilah yang ingin dimulai dalam ruang penyampaian pikiran bagi sepuluh tahun blog kupiluho –setiap blog yang saya isi setiap hari sebanyak 400 kata. Sebuah pertanyaan di atas, tentang mengenap bernegara hukum, idealnya harus dijawab, terutama oleh pelaksana hukum. Atau mungkinkah, sesungguhnya para ilmuan hukum yang harus disalahkan, karena belum menyampaikan pemahaman hukum secara komprehensif?

Alasan mengapa bernegara hukum tetap harus dimulai dari dasar. Menjawabnya tidak mudah, tapi harus dilakukan. Kita bisa minta semua orang kembali ke negara hukum kita, namun apa sesungguhnya yang disebut sebagai negara hukum dan mengapa dulu posisi ini yang dipilih? Kita harus mengkritis supaya bisa memahami jalan ini sepenuhnya.

Leave a Comment