Memilih Model Hukum

Selain soal bagaimana para the founding fathers memilih dan merumuskan negara ini sebagai negara hukum, soal lain yang tak kalah penting adalah terkait model hukum apa yang dipilih. Sejumlah diskusi yang saya ikuti, pertanyaan mengenai …

Selain soal bagaimana para the founding fathers memilih dan merumuskan negara ini sebagai negara hukum, soal lain yang tak kalah penting adalah terkait model hukum apa yang dipilih. Sejumlah diskusi yang saya ikuti, pertanyaan mengenai pilihan menggunakan sistem atau subsistem hukum, selalu menarik. Pertanyaan semacam ini tidak hanya lahir dalam ruang diskusi dan ruang kuliah. Bahkan dalam kehidupan nyata, sering hadir oleh mereka yang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Orang yang tidak mengerti, tidak memahami bagaimana hukum begitu mudah dibelokkan. Sedangkan mereka yang pura-pura tidak memahami, bisa menjangkar apa yang sesungguhnya terjadi, namun berlagak agar tidak menjadi tumpuan banyak pertanyaan.

Model yang saya maksudkan ketika ada ruang untuk memilih hukum yang akan dioperasionalkan. Merujuk pada pendapat Zaka Firma Aditya, sebagai negara hukum, Indonesia menganut tiga sistem hukum sekaligus yang hidup dan berkembang di masyarakat, yakni civil law system, hukum adat, dan sistem hukum Islam. Ketiga konsep tersebut saling melengkapi, harmonis, dan romantis. Misalnya hukum Islam mempengaruhi corak hukum di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia menganut agama Islam, sehingga memungkinkan hukum Islam menjadi bagian yang penting dan berpengaruh dalam sistem hukumnya. Sedangkan hukum adat sebagai hukum asli yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat dan hukum Islam, digunakan dalam pembentukan yurisprudensi Mahkamah Agung (Aditya, 2019).

Dari uraian di atas, soal bagaimana suatu sistem dibangun, juga menjadi soal tersendiri. Apa yang disebut sebagai sistem hukum nasional, sudah mencakup semua hukum. Maka dalam konteks ini, menyebut semuanya dalam sistem yang berbeda, menjadi masalah tersendiri dalam dunia keilmuan. Hal lainnya yang sesungguhnya mengubah peta hukum adat dan hukum Islam adalah pada posisi kodifikasi dan unifikasi yang diterapkan dalam pembangunan dan pengembangan hukum di negara ini.

Suatu kali dalam sebuah diskusi yang saya hadir di dalamnya, seorang penanya menggugat. Sebenarnya sistem hukum apa yang dipakai dalam suatu negara yang baru merdeka? Dengan kata lain, apa yang menentukan sesuatu hukum bagi hukum suatu negara tertentu? pertanyaan semacam ini, mungkin sontak membuat banyak pihak terkejut. Pada masa dulu, pertanyaan semacam ini malah jarang keluar dalam diskusi-diskusi terbuka. Secara lebih jauh pertanyaan bisa merambah ke banyak hal yang barangkali oleh penanya sendiri tidak terpikir mendalam hingga ke sana.

Ketika zaman terbuka, pertanyaan apapun tidak masalah. Bahkan ada pertanyaan yang lebih blak-blakan juga bisa muncul bahkan dalam diskusi-diskusi yang membahas fondasi dalam bernegara. Jawabannya banyak sekali. Mereka yang menjawab juga mencerminkan wajah bangunan jalan pikir dalam melihat posisi hukum negara.

Menghadiri diskusi-diskusi, tawaran berbagai solusi tergambar meluas hingga sekarang. Dominan pihak menganggap bahwa hukum negara seperti sekarang sebagai yang paling cocok. Ada juga pihak menganggap bahwa hukum adat sebagai jalan keluar. Ada yang menganggap piagam Jakarta yang dulu pernah dicetuskan, sebagai sesuatu yang paling ideal. Bahkan ada yang menganggap hukum agama adalah solusi bagi hukum negara.

Melihat ke belakang, ketika soal hukum dibahas, maka jawaban juga tampak beragam. Bidang hukum ketika awal merdeka, tidak berusaha untuk memiliki hukum yang berciri khas Indonesia sebagai jawaban hukum. Terjadi tolak tarik antara berbagai orang dan pihak di dalamnya, ketika mau memiliki hukum apa yang akan digunakan? Apakah hukum agama, hukum adat, atau hukum modern sebagai hukum negara.

Menyangkut pilihan, tidak terbatas pada tampilan wajah. Karena semua perdebatan, pada dasarnya adalah tersimpan kepentingan di baliknya. Kepentingan itu juga secara implisit akan menggambarkan kekuatan para pihak yang keberadaannya diawal kemerdekaan menjadi sangat penting.

Ternyata mereka yang menentukan hukum waktu itu, sepertinya lebih dominan memilih hukum modern sebagai hukum negara. Dalam hal tertentu, ada sedikit persentuhan yang dipertahankan dari hukum agama dan hukum adat. Dalam wilayah tertentu juga, hukum adat diposisikan berbeda-beda. Ada yang memandang ia sebagai sesuatu yang terpisah dari hukum agama, ada yang memandang hukum agama sebagai penyaringnya.

Pada akhir fase kolonial, debat itu sebenarnya sudah terjadi. terutama dalam konteks bagaimana hukum adat dipandang. Snouck Hurgrunje, Van Den Berg, dan muncul pula Hazairin yang asli Indonesia. ketiga wajah teori hukum khas Indonesia tersebut jelas tidak berdiri sendiri. Ada sesuatu yang lebih besar di belakangnya, yang seyogianya juga harus kita lihat sebagai satu kesatuan. Dengan melihat ini, maka pertanyaan-pertanyaan awal menjadi bisa dipahami perihal munculnya ke permukaan. Sepanjang waktu.

Pertanyaan mengapa hukum ciri khas Indonesia tidak menjadi pilihan, bisa dijawab oleh masing-masing kita. Tentu berdasar dari sejumlah buku sejarah yang membahas hukum. Juga mengapa hukum modern yang dipilih, juga ada alasannya.

Sesuatu yang sudah dipilih, tidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena ada konteks yang harus dipahami. Gugatan apapun tidak boleh melupakan keadaan waktu itu saat pilihan itu ditentukan. Namun sebagai catatan dari negara merdeka, bahwa apapun harus mewujudkan sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara-negara yang merdeka. Negara kita terbangun dengan konsep berdaulat, menuju adil dan makmur, harus berusaha mewujudkan hukum yang lepas dari bayang-bayang pengaruh kolonial.

Tentu ini adalah pilihan. Saat ada usaha untuk mencapai corak hukum kita sendiri, namun belum berhasil, itu juga sebagai cermin dari pilihan itu.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment