Menakar Qanun Perikanan Aceh

Beberapa waktu yang lalu, saya menerima Surat Keputusan Pembentukan Tim Penyusunan Pra Rancangan Qanun Aceh tentang Perikanan. SK ini dimaksudkan sebagai dasar bagi melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 …

Beberapa waktu yang lalu, saya menerima Surat Keputusan Pembentukan Tim Penyusunan Pra Rancangan Qanun Aceh tentang Perikanan. SK ini dimaksudkan sebagai dasar bagi melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (TCPQ).

Posisi saya dalam SK adalah sebagai narasumber. Bersama sejumlah orang yang lain, saya ditugaskan memberi masukan dan gagasan-gagasan tentang materi hukum dan teknis yang akan dituangkan ke dalam pra Raqan Perikanan.

Untuk melaksanakan tugas tim ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh kemudian menyelenggarakan Lokakarya Pra Raqan Aceh tentang Perikanan. Pada saat itu, karena harus mendampingi keluarga ke dokter, saya tidak bisa hadir. Sebagai gantinya, saya menjanjikan mengirim sejumlah pokok pikiran. Saya berharap catatan ini dapat menjadi pemantik bagi diskusi yang lebih mendalam. Tentu tidak terbatas hanya bagi dinas, melainkan bagi publik perikanan.

Kegiatan itu sendiri bertujuan untuk menggali isu dan permasalahan kelautan dan perikanan di Aceh. Tujuan penting lain adalah memfasilitasi peluang revisi Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan, dan mengakomodir kebijakan daerah terkait revisi/perubahan Qanun Perikanan ini.

Pertanyaan dasar dari sisi akademis adalah mengapa qanun ini harus diubah atau direvisi? Ada persoalan normatif dan empiris apa yang menyebabkan ia harus diubah? Malah penyebutan pra rancangan qanun, secara implisit memberi kesan bahwa qanun itu akan diganti (dengan qanun yang baru).

Catatan saya ini mudah-mudahan menjadi masukan sekaligus untuk menegaskan beberapa hal yang seyogianya mendapatkan perhatian dalam proses pembentukan qanun. Saya ingin fokus pada empat hal, yakni: (1) soal penyebutan prarancangan qanun; (2) soal materi sebuah qanun; (3) soal proses sebuah qanun disusun; dan (4) soal perlu tidaknya perubahan sebuah qanun.

Penyebutan Praraqan

Ada hal menarik sebagai catatan awal. Penyebutan lokakarya prarancangan qanun tentang perikanan. Mengapa disebut prarancangan qanun, padahal Qanun Perikanan sudah ada? Sepemahaman saya, bila membaca Qanun TCPQ, justru penyebutan prarancangan qanun dimaksudkan sebagai proses awal menuju pembentukan qanun yang baru.

Kegiatan lokakarya tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara utuh kondisi sektor kelautan dan perikanan Aceh. Kemudian bisa digambarkan gap analisis aspek regulasi untuk pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Aceh. Hal lain memetakan kebutuhan ideal regulasi yang sesuai untuk perbaikan tata kelola kelautan dan perikanan Aceh.

Dasar gambaan tersebut, berdasarkan enam hal yang selama ini disebutkan sebagai bukti buruknya tata kelola perikanan di Aceh, yakni destructive fishing (perikanan yang merusak), konflik pemanfaatan ruang, ketidakpastian perizinan, lemahnya koordinasi antarsektor, lemahnya pengawasan, dan lemahnya penegakan hukum.

Atas alasan itulah, “pembentukan” Qanun Perikanan dianggap sebagai jalan keluar. Apalagi Qanun Perikanan, dipandang sebagai satu-satunya regulasi yang mengatur tata kelola di Aceh. Setelah 11 tahun berlaku Qanun Perikanan diklaim bahwa persoalan tata kelola tidak mendapat perhatian. Isu-isu terkait antara lain illegal, unreported,  unregulated (IUU) fishing, destructive fishing, hak-hak masyarakat pesisir, akses dan peran institusi panglima laot dalam pengelolaan wilayah laut dan perikanan berkelanjutan, termasuk belum mempertimbangkan kaum yang terpinggirkan.

Saya menyarankan ada satu tim yang akan menjelaskan dari sisi akademis isu-isu yang disebutkan. Dan jika berangkat dari asumsi di atas, “membentuk” Qanun Perikanan yang baru harus dibuktikan melalui titik penting kajian empiris untuk menjawab kebutuhan regulasi (saya membatasi pada isu regulasi ini).

Materi dan Proses Qanun

Dalam Qanun TCPQ, istilah prarancangan qanun terkait dengan proses awal penyiapan untuk pembentukan sebuah qanun. Hal ini dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah terkait. Ada proses pemrakarsaan yang dilakukan dari awal dan menurut qanun hal itu harus dilaporkan kepada gubernur. Bersamaan dengan laporan prarancangan qanun tersebut, disertai adanya penjelasan yang lengkap mengenai konsepsi pengaturan setidaknya mencakup: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) dasar hukum; (c) sasaran yang ingin diwujudkan; (d) pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; (e) jangkauan serta arah pengaturan; dan (f) keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.

Dalam operasionalnya, pihak yang menjadi pemrakarsa prarancangan qanun juga dapat menyusun naskah akademik/kajian akademik, yang sekurang-kurangnya memuat dasar Islamis, filosofis, yuridis, sosiologis, serta pokok dan lingkup materi yang diatur. Bisa saja pemrakarsa, jika memilih menyiapkan naskah/kajian akademik dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi atau pihak ketiga yang memiliki keahlian untuk itu, namun hal yang tidak boleh dilupakan, ia akan selalu disertakan dalam setiap pembahasan prarancangan qanun.

Kajian dasar sebagai basis argumentasi tersebut sangat dibutuhkan. Kajian ini akan menjawab apakah keinginan melakukan revisi, disebabkan oleh karena kelemahan dalam qanun, atau justru kelemahan dalam pelaksanaannya?

Sekedar catatan, “pembentukan” qanun sangat luas materinya. Dalam konteks Aceh, bisa saja tentang (a) pengaturan penyelenggaraan pemerintahan Aceh; (b) hal yang berkaitan dengan kondisi khusus daerah dan kewenangan khusus Aceh yang bersifat istimewa; (c) penyelenggaraan tugas perbantuan; dan (d) penjabaran lebih lanjut tentang peraturan perundang-undangan.

Secara normatif, pertanyaan pentingnya adalah (revisi/pergantian) Qanun Perikanan ini akan mewakili materi yang mana. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi dasar titik berangkat penting tidaknya perubahan atau bahkan pergantian suatu qanun itu dilakukan.

Perlu Tidaknya Perubahan

Sebagai bagian dari warga akademis, saya berangkat dari materi dan proses yang seyogianya menjadi panduan yang harus diikuti. Pertanyaan pentingnya apakah IUU fishing, destructive fishing, hak-hak masyarakat pesisir, akses dan peran institusi panglima laot dalam pengelolaan wilayah laut dan perikanan berkelanjutan, dan kaum yang terpinggirkan, belum diatur dalam Qanun Perikanan sebelumnya.

Dengan kajian yang akademis, pasti akan terjawab sejauhmana hal yang diungkapkan tersebut sudah tertampung. Sebenarnya tidak hanya pada Qanun Perikanan. Berbicara sektor kelautan dan perikanan, harus pula dilihat qanun lainnya yang terkait, antara lain qanun yang mengatur tentang sumberdaya alam, termasuk Qanun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Berdasarkan kajian nantinya akan terjawab apakah memang yang bermasalah selama ini pada tataran regulasinya ataukah pada tataran implementasinya? Menyimpulkan perlu regulasi padahal sesungguhnya bisa jadi belum terimplementasi dengan baik, pada akhirnya akan menjadi masalah baru.

Saya menyarankan kajian empiris dan hukum inilah yang penting dilakukan terlebih dahulu, sebelum menempuh jalan terlalu jauh. Bisa jadi hal ini sudah dilakukan Dinas. Ia menjadi proses formal yang sudah ditentukan dalam Qanun TCPQ.

Sebagai catatan akhir, seingat saya, ketika qanun ini dibentuk tahun 2010, ia termasuk salah satu qanun yang paling partisipatif dari segi prosesnya. Maka pertanyaan secara substansi, perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk hal ini. Mudah-mudahan bermanfaat. (st_aceh@yahoo.co.id)

 

Serambi Indonesia, 17 Desember 2021
https://aceh.tribunnews.com/2021/12/17/menakar-qanun-perikanan-aceh

 

Leave a Comment