Ada satu pertanyaan penting yang saya dapat hari ini. Seorang teman jauh, menelepon khusus untuk menanyakan tentang seberapa mungkin seseorang yang tidak bersalah dibuat menjadi bersalah, demikian juga sebaliknya, orang yang bersalah dibuat tidak bersalah. Jawaban saya dingkat, bahwa semuanya serba mungkin. Jawaban ini, tentu bukan jawaban hukum. Ini jawaban politis. Akan tetapi soal apa yang tidak dipengaruhi politik selama ini? Hal yang seharusnya netral, dibelenggu politik. Demikian juga urusan yang seharusnya lurus, bisa dibengkokkan oleh kekuatan politik. Ironisnya, orang-orang yang disitir oleh kekuatan politik, bahkan rela menggadaikan akidahnya, dengan mencari dasar-dasar yang memungkinkan untuk merasionalkan pilihannya.
Dengan demikian, bukankah ada perselingkuhan antara hukum dan politik? Pertanyaan ini mungkin masih sederhana. Hukum dan politik tidak mungkin dipisah, kata satu pihak. Hukum dan politik memang harus dipisah, kata lain pihak. Betapa semua urusan, kekuatan politik mendominasi dan menentukan arah. Hal-hal yang tidak kita duga, bisa dibelokkan ke arah yang tak disangka-sangka. Dalam ilmu yang dipelajari, catatan-catatan menunjukkan keserbamungkinan tersebut. Hal-hal yang dalam kenyataan dipermasalahkan, ternyata sudah diperkenalkan. Politik demikian menentukan hukum, walau dimana-mana ada deklarasi bahwa hukumlah yang harus menentukan semuanya.
Jadi dengan pertanyaan di atas, bisa saja terjadi. Kasus salah tangkap banyak terjadi. Kasus salah hukum pun, juga banyak terjadi. Jika pertanyaannya mungkinkah, maka jawabannya, semua serba mungkin. Apalagi jika kita menilik kehidupan di dunia entah berantah, banyak hal aneh terjadi di depan mata. Harus dibedakan antara menggunakan pasal dengan mencari pasal. Kadangkala untuk hal tertentu, samasekali belum ada pasal untuk dipasang. Dalam kasus demikian, tinggal cari dulu pasal yang akan digunakan. Orangnya, entah kesalahan bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, itu soal kemudian. Sebaliknya, ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan politik, terbentur dengan ketiadaan pasal. Seolah-olah sulit menemukan pasal yang pas dan cocok, walau apa yang lakukan mungkin terang-benderang melukai perasaan banyak orang.
Konteksnya tentu berbeda. Jika kita dalami, untuk pasal yang mesti dicari, berkemungkinan untuk mendapatkan pasal yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Sedangkan untuk kasus yang tinggal menggunakan pasal, kadang-kadang hanya menyerdehanakan masalah. Hal yang cukup serius, akan tetapi karena tinggal menggunakan saja, tinggal dipasang. Bedanya jelas, dengan implikasi dan kemungkinan yang berbeda pula. Ujungnya, pasang-memasang ini sendiri juga sebuah seni. Ketika orang tidak percaya bahwa politik mengintervensi hukum, secara tidak sadar yang bersangkutan sedang berada di kursi tersebut. Terutama terkait bagaimana ia meyakinkan apa yang diungkapkan itu sebagai sebuah yang masuk akal.
Akan tetapi entahlah, saya sedang bercerita di dunia entah berantah. Tentu di negara ini, serba mungkin juga bisa saja berpeluang terjadi. Namun kita tidak boleh menunjuk, apalagi menuduh. Karena menunjuk saja tentang sesuatu yang sudah di depan mata, bisa kenal pasal juga.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.