Mengapa Pasal Karet Dipertahankan?

Pertanyaan tentang mengapa pasal karet masih dipertahankan, saya temukan jawaban dalam sejumlah berita. Namun jawaban tentang ini, diberitakan untuk masalah tertentu saja. Secara umum, tidak saya temukan bahasan yang menyeluruh. Akan tetapi, pasal-pasal yang dinilai …

Pertanyaan tentang mengapa pasal karet masih dipertahankan, saya temukan jawaban dalam sejumlah berita. Namun jawaban tentang ini, diberitakan untuk masalah tertentu saja. Secara umum, tidak saya temukan bahasan yang menyeluruh. Akan tetapi, pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet, sesungguhnya dapat diidentifikasi. Pasalnya dalam realitas, pemahaman terhadap suatu pasal itu masuk pasal karet atau bukan, menjadi masalah tersediri.

Sebuah berita Liputan6 tahun 2016, isinya “Mengapa pasal karet UU ITE tetap dipertahankan?” Pada tahun 2016, terjadi perbedaan pandangan sehingga masing-masing memiliki cara pandang berbeda. Bagi Komisi I DPR waktu itu, pasal-pasal tersebut justru sesungguhnya untuk menegaskan bahwa negara hadir untuk memberikan literasi (Wardani, 2016).

Bagi saya, ada soal kesamaan persepsi dan frekuensi yang mesti didudukkan terlebih dahulu. Ada situasi di mana sesuatu hal dianggap masalah bagi satu pihak, belum pemahaman yang sama pada pihak lainnya. Seperti situasi di atas, pihak lain menganggap apa yang bagi pihak satu lagi sebagai masalah, bagi pihaknya sebagai satu terobosan.

Saat kuliah di dalam kelas, proses penyamaan persepsi –yang secara khusus saya sebut dengan penyamaan frekuenasi—agar terdapat pemahaman yang sama semua pihak dalam membahas sesuatu. Jangan sampai membahas satu hal yang masing-masing pihak memiliki pemahamanan –bahkan cara pandang sendiri terhadai hal itu.

Alasan di atas, dalam pengaturannya juga terus berkembang. Seiring dengan revisi yang juga dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pertanyaannya apakah para pihak benar-benar tidak memahami? Sepertinya, pasti memahami kondisi tersebut. Lalu mengapa pasal-pasal ini terus dipertahankan? Padahal kita tahu, pasal-pasal karet tersebut ada dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Apa yang menyebabkan penguasa masih mempertahankan pasal-pasal karet? Konsep pasal-pasal ini, antara menunjuk pada pasal yang tidak jelas batasan konseptualnya dan cenderung multitafsir. Akibat tidak ada batasan dan multitafsir, berdampak pada penggunaannya yang tidak terhindari masuknya subjektivitas yang mengatasnamakan kepentingan bersama.

Ada satu berita yang diungkapkan oleh Tempo, dengan mengutip satu artikel dari Unesco (Unesco, 2012). Disebutkan Unesco, setidaknya ada 21 negara yang telah secara penuh melakukan apa yang disebut sebagai dekriminalisasi pidana pencemaran nama baik. selain itu, ada 14 negara telah melakukan dekriminalisasi terhadap pencemaran tertulis. Dalam disertasi Herlembang Perdana Wiratman yang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Leiden pada tahun 2014, sudah ada 50 negara yang menghapus delik defamasi atau pencemaran nama baik dalam aturan negaranya. Bahkan PBB sudah merekomendasikan menghapus aturan pencemaran nama baik dalam aturan suatu negara (Tempo, 2015).

Pada negara-negara tertentu, khususnya Eropa seperti Inggris sering menyebut pencemaran nama baik dengan istilah defamation dan penyebutan di negara lainnya slander, colummny dan vilification dan ketiga istilah ini digunakan untuk pencemaran nama baik secara lisan (Rochman, Akmal, & Andriansyah, 2021).

Salah seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratman, menyebut aturan kolonial seperti pasal pencemaran nama baik, masih tercantum dalam aturan di negara Belanda –akar hukum Indonesia. Namun aturan itu, tidak lagi digunakan karena sudah dianggal tidak lagi sesuai zaman.

Selain itu, jika menelusuri lebih dalam, sesungguhnya dalam hukum pidana, pasal karet pada hakikatnya yang tidak sesuai dengan asas legalitas. Di pihak lain, pada pasal yang multitafsir, konsepnya bisa terlalu luas sehingga cenderung berpotensi digunakan sebagai sarana kriminalisasi (Dunan & Mudjiyanto, 2022). Alasan potensi penyalahgunaan inilah, pasal ini dianggap bermasalah.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

(Sumber: Karikatur koran.tempo.co)

Leave a Comment