Apakah Anda pernah berpengalaman berdiam diri mendengar berjam-jam kata-kata dari orang yang sedang mempersiapkan diri mendapatkan kekuasaan? Konteks mendapatkan, tentu terkait dengan bagaimana ia diperoleh. Setiap durasi waktu tertentu, secara periodik, saat penguasa lama habis jabatan, selalu ada ruang untuk menemukan penguasa yang baru.
Mereka yang berkeinginan untuk mendapat kekuasaan itu, tidak selalu orang yang baru, atau mereka yang belum pernah memegang kekuasaan. Dominan daerah, justru pemain lama yang sangat banyak. Bahkan dalam pengalaman kemarin, justru orang lama yang disandingkan dengan kotak kosong sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemilihan umum.
Konteks kotak kosong bukan mengada-ngada. Saat kontestan hanya satu, maka ia akan dihadapkan pada kotak satu lagi yang tidak ada manusianya. Ironisnya ada daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong itu. Itulah potret ketika orang bagaimana mengejar kekuasaan, namun melupakan kesan di benak orang-orang yang akan memilihnya.
Hal yang saya sebut terakhir ini yang ingin saya jelaskan. Kita bisa merasakan bagaimana aroma kekuasaan itu begitu menarik perhatian. Ia bisa jadi seperti penyedap yang tercium di tempat yang dekat dengan pusat jajanan. Orang tahu bahwa tidak semua jajanan sehat, namun dengan aroma yang diciumnya dari jauh, selalu membuatnya tertarik untuk mendapatkannya.
Begitulah kekuasaan yang selalu ingin didapatkan oleh orang-orang yang berjuang mendapatkannya. Tidak saja dengan cara benar, bahkan ada yang menggunakan cara-cara yang tidak benar. Tidak saja dengan cara-cara halus, banyak pihak yang juga menggunakan cara-cara yang kasar. Tidak jarang wasit dan pengadil, kadang-kadang juga turun sebagai pemain.
Dalam suasana demikian, orang berbicara berbuih-buih. Orang yang tidak mengukur diri, tetap begitu percaya diri saat berbicara. Apalagi bila dikasih panggung, mereka tidak peduli terhadap siapapun yang mendengarnya.
Saya sering duduk di warung kopi merasakan aroma yang demikian. Bahkan sering tertawa sendiri mendengar mereka yang begitu percaya diri, namun kita tahu bagaimana pengalaman dan hubungannya dengan publik. Itulah tarikan kekuasaan yang membuat orang seperti mabuk asmara.
Untuk mendapatkan aroma itu, salah satunya dengan proses perebutan. Perebutan kekuasaan, pada dasarnya tidak hanya bisa dilakukan dengan cara mengkudeta. Ada sebuah kekuatan, dengan menggunakan kekuatan tertentu, mengambil paksa sebuah kekuasaan. Akhir proses tersebut, ada yang diakui oleh pihak lain, ada juga yang dicela dan dicibir. Bahkan ada yang dikutuk. Sedangkan di luar itu, ada proses legal dan konstitusional yang dilakukan melalui cara-cara yang sah.
Cara yang disebut terakhir yang sering dilakukan dengan aman, namun biasanya membutuhkan waktu yang lama. Orang yang mendapatkan kekuasaan dengan cara terakhir itu, akan melakukan apa pun, akan tetapi dalam bingkai yang legal. Pertanyaannya apakah yang legal itu selalu selaras dengan moral? Itu pertanyaan yang lain lagi. Posisi moral lain lagi.
Hal yang penting untuk diingatkan bahwa sebuah kekuasaan itu tidak hanya terpersonifikasi melalui orang tertentu saja. Pada dasarnya, sebuah kekuasaan, walau melalui seeorang atau sejumlah orang tertentu saja, dikuatkan oleh banyak orang di belakangnya. Maka apa yang dikatakan oleh pemegang kuasa, pada dasarnya adalah wajah dari mereka yang di belakangnya.
Atas dasar banyak orang di belakang mereka yang memegang kekuasaan, maka tentu saja ada banyak kepentingan di dalamnya. Ada kepentingan untuk mendapatkan materi. Pun tidak mungkin menutup mata ada kepentingan mereka yang ingin berbuat baik. Masalahnya adalah yang sering terjadi, antara kepentingan materi dengan kepentingan berbuat baik, terbalut sedemikian rupa, sehingga sulit untuk dibedakan. Seserakah apapun seorang penguasa, ia tetap akan mengatakan berkuasa hanya untuk berbuat baik. Selalu begitu.
Makanya ketika akhir dari kuasa, karena ia wajah dari orang-orang di belakangnya, berbagai tekad bisa berubah. Tekad ini yang akan mengalahkan moral dan rasa malu. Banyak orang ketika mau berkuasa, berjanji dengan sungguh-sungguh hanya butuh satu periode, namun ketika akhir masa jabatan, terpaksa harus meralat karena kepentingan kuasa tadi. Alasan sederhana, karena ternyata tidak cukup waktu dalam satu periode untuk menyelesaikan berbagai program yang bertujuan untuk sesuatu yang penting bagi orang banyak. Proses ini selalu dialasankan pada sesuatu yang baik. Selain itu, ada catatan bahwa seharusnya, yang namanya program yang baik dan berorientasi untuk kesejahteraan orang banyak, ia selalu bersambung dan tidak penting siapa yang mesti memegang kuasa.
Kenyataan ini berlangsung dalam berbagai level. Mulai dari negara, hingga ke ujung rukun tetangga –sebuah susunan kepenguasaan yang paling bawah dalam masyarakat tertentu yang dalam masyarakat kita mungkin setara dengan tingkat lorong. Alasan ini juga dimainkan tidak hanya dimainkan oleh kaum politisi, melainkan juga dikonstruksi oleh mereka yang akademisi. Di tempat-tempat yang dibayangkan sebagai tempat yang masih kuatnya bersemayam moral dan rasa malu, juga bisa memainkan alasan yang demikian.
Menjadi tidak aneh, ketika di lingkungan akademis sekali pun, hal-hal yang mengabai rasa malu dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat mendapatkan kekuasaan. Hal yang seharusnya hanya dimainkan oleh mereka yang tidak berada di tempat tersebut. Mengapa banyak orang mampu melakukan demikian? Jawaban sederhana dan singkat, karena ketika memegang kuasa, kita bisa merasakan begitu gurihnya kekuasaan itu dengan berbagai fasilitasnya –baik yang tersedia maupun yang terpaksa disediakan.
Saat aroma itu mencuat, banyak yang lupa bahwa apapun itu, pada dasarnya adalah sebuah amanah yang sangat sulit mempertanggungjawabkannya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.