Mengkritik dan Menghina

Akhir-akhir ini, satu wacana mengemuka, yakni keinginan memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Wacana ini pun langsung tersulut. Seperti bensin di musim kemarau. Wacana yang awalnya …

Akhir-akhir ini, satu wacana mengemuka, yakni keinginan memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Wacana ini pun langsung tersulut. Seperti bensin di musim kemarau.

Wacana yang awalnya berkembang di kalangan terbatas, dalam sekejap menjadi konsumsi publik luas. Dalam Pasal 134 jo 136 KUHP, pasal penghinaan terhadap presiden telah dilakukan pembatalan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUUIV/ 2006. Menurut sejarahnya, pembentukan pasal tersebut berasal dari Wetbook Van Strafrecht (WvS) (Kitab Undang Undang Hukum Pidana Belanda) yang juga diberlakukan di Negara jajahan.

Pembentukan peraturan tersebut sudah lebih dari satu abad. Usul pasal penghinaan dilakukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kemudian berbagai pihak, termasuk anggota legislatif, ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju menyebutkan bahwa harkat dan martabat presiden adalah cermin dari harkat dan martabat negara yang harus dijaga.

Sedangkan pihak yang tidak setuju, memandang pasal tersebut berpotensi untuk disalahgunakan, terutama mereka yang selama ini sesungguhnya melakukan kritik, tetapi dianggap menghina. Disebabkan istilah dalam bahasan ini ada beberapa, yakni selain kritik, hina, ada juga kata-kata lain yang terkait.

Maka wacana di atas, dapat dilihat dari konsep kata dasar, yakni “kritik” dan “hina”, serta kata-kata yang terkait tersebut.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “mengkritik” memiliki dua maksud, yakni mengemukakan kritik dan mengecam. Mengkritik berasal dari kata kiritik, yang berarti “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb”. Dalam konteks kritik yang membangun, dimaksudkan sebagai kritik yang bersifat memperbaiki.

Di samping itu, kritik dilakukan oleh orang yang mengkritik, orang yang mengemukakan kritik. Dengan berpatokan pada konsep di atas, sebuah ritik tidak mesti disertai uraian dan pertimbangan. Dalam berbagai bidang ilmu, dikenal pula yang namanya kritikus, yaitu mereka yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) terhadap baik buruknya sesuatu.

Kritik terkait dengan kecam. Dari segi konsep, kataitu bermaksud menyelidiki (mengamat-amati) dengan teliti; mencamkan. Kecam juga dianggap sama dengan mengkritik dan mencela. Kata terakhir ini berarti mengatakan bahwa ada celanya; mencacat; mengecam; mengkritik; menghina. Mencela berasal dari kata “cela”, yang berarti: (1) sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna; cacat; kekurangan; (2) aib; noda (tentang kelakuan, dsb); (3) hinaan; kecaman; kritik.

Sementara menghina, bermaksud: (1) merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); (2) memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti maki-maki, menistakan. Menghina berbeda dengan penghinaan, yang berarti proses, cara, perbuatan menghina(kan); enistakan. Kata menghina berasal dari kata dasar “hina”, yang memiliki dua makna: (1) rendah kedudukan (pangkat, martabatnya); (2) keji, tercela, tidak baik (tentang perbuatan, kelakuan).

Dari segi konsep, dalam Kamus Bahasa ada sejumlah maksud tertentu dipandang sama. Ada konteks tertentu yang diposisikan bahwa maksud dari kata kritik, hina, bahkan cela, dan kecam, pada dasarnya sama saja. Namun tidak bisa dinafikan, dalam konteks lain, penggunaan kata itu bisa berarti berbeda. Dengan bertitik tolak dari gambaran demikian, pengaturan tentang penghinaan perlu dirumuskan secara hati-hati karena ia terkait dengan konteks.

Karena hal ini terkait dengan konteks, maka maksud ketentuan “penghinaan”, ketika sudah diatur nantinya, akan berpeluang untuk dibelokkan untuk berbagai kepentingan. Berpatokan pada KUHP, penghinaan terhadap presiden bisa saja bertumpu pada delik aduan. Pengaturan secara khusus kan berpeluang digunakan untuk menghantam orang yang melakukan kritik. Padahal kritik juga sangat penting dalam mendampingi proses pembangunan.

Kritik bisa saja tanpa solusi. Orang yang melakukan kritik, sebenarnya orangorang yang berusaha menyampaikan sesuatu, walau untuk sesuatu itu, tiada solusi yang ditawarkan. Bagi yang menerima kritik, seharusnya dengan adanya kritik –walau belum ada solusi— akan memudahkan yang bersangkutan mengetahui apa saja yang kurang. Catatan penting yang harus diberikan, bahwa pengkritik pun bisa tidak murni. Dalam sebuah kritik pun bisa didompleng oleh berbagai kepentingan. Ini juga masalah tersendiri.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Mengkritik dan Menghina, https://aceh.tribunnews.com/2015/08/30/mengkritik-dan-menghina.

Leave a Comment