Mengukur Negara Hukum

Istilah “negara hukum Indonesia”, tidak muncul dengan tiba-tiba. Mengurainya dalam sebuah konsep yang komprehensif pun, sudah dilakukan banyak sarjana hukum tata negara atau sarjana hukum dasar. Sebagaimana sudah saya jelaskan dalam bagian sebelumnya, ketika membicararakan …

Istilah “negara hukum Indonesia”, tidak muncul dengan tiba-tiba. Mengurainya dalam sebuah konsep yang komprehensif pun, sudah dilakukan banyak sarjana hukum tata negara atau sarjana hukum dasar. Sebagaimana sudah saya jelaskan dalam bagian sebelumnya, ketika membicararakan negara hukum –termasuk apa yang diklaim sebagian sarjana hukum sebagai negara hukum Indonesia, tidak mungkin dipisahkan dari pengaruh konsep rechtsstaats sekaligus the rule of law. Penjelasan yang sama terkait dengan para ahli yang membahas masing-masing konsep tersebut.

Ada titik menarik yang saya kira penting, terkait bagaimana melihat posisi Indonesua sebagai negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan. Merujuk pada konsep negara hukum yang disebut Jimly Asshiddiqie lebih dekat dengan konsep rule of law sebagaimana dijelaskan Dicey. Alasan paling sederhana pada konsep pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi. Selain itu, pada dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan, adanya jaminan hak asasi manusia, serta peradilan yang bebas dengan jaminan konstitusi yang menegaskan setiap warga negara sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Ashiddiqie menegaskan setidaknya dua belas prinsip pokok yang harus dimiliki oleh suatu negara hukum, yaitu: Supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan yang bebas dan tidak memihak, adanya peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan transparansi dan kontrol sosial (Ashiddiqie, 2005). Dalam Buku Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Ashiddiqie menyebutkan juga prinsip berketuhanan yang Maha Esa, serta adanya prinsip pers yang bebas (Ashiddiqie, 2007).

Merujuk pada sejarah negara hukum, maka gagasan negara hukum tidak bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang bagaimana memikirkan pembatasan kekuasaan. Konsep-konsep ini tentu saja dilatarbelakangi oleh sejumlah keadaan politik yang absolut pernah dipraktikkan raja-raja di Eropa pada abad pertengahan. Pemikiran pembatasan kekuasaan itu sendiri sebagai salah satu prinsip dari konstitusionalisme –demokrasi. Inti dari pemikiran tentang negara hukum adalah adanya pembatasan terhadap kekuasaan, melalui sebuah aturan yuridis –undang-undang (Djafar, 2010). Pembatasan kekuasaan sangat penting dalam sebuah negara hukum, dengan supremasi hukum (Syaufanil, Nurfitriani, & Giawa, 2024).

Mengapa dilakukan pembatasan kekuasaan? Sangat penting adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menetapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang (Bakri & Jeddawi, 2022).

Itulah alasannya mengapa konstitusionalisme penting. Merujuk pada apa yang diungkapkan Andrew Heywood –ahli politik yang menjabat Wakil Kepala pada Croydon College, Inggris, menyebutkan dalam ruang lingkup yang sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan sebatas penyelenggaraan negara yang dibatasi oleh undang-undang dasar—inti negara hukum. Artinya, suatu negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme jikalau lembaga-lembaga negara dan proses politik dalam negara tersebut secara efektif dibatasasi oleh konstitusi. Sedangkan dalam pengertian yang luas, konstitusionalisme adalah perangkat nilai dan manifestasi dari aspirasi politik warganegara, yang merupakan cerminan dari keinginan untuk melindungi kebebasan, melalui sebuah mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal terhadap kekuasaan pemerintahan (Djafar, 2010). Heywood yakin bahwa pembatasan –yang disebutnya sebagai konstitusionalisme tersebut yang akan membuat kuasa menjadi bisa dikendalikan dengan baik (Heywood, 1992).

Berangkat dari konsep demikian, apa yang dipikirkan oleh para founding fathers ketika Indonesia merdeka, sesuatu yang tidak sederhana. Memikirkan masa depan dan kekuasaan, sudah dipikirkan dari awal agar dijalankan secara terukur dan tidak semena-mena.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment