Mengukur Pelaksanaan Penegakan Hukum

Judul kolom hari ini, mungkin agak royal. Pembaca bisa jadi akan menangkap, dengan menghemat satu kata. Gabungan antara pelaksanaan dan penegakan, bisa jadi mubazir. Dalam bahasa Indonesia yang baik, penekanan seperti itu sering disebutkan. Hanya …

Judul kolom hari ini, mungkin agak royal. Pembaca bisa jadi akan menangkap, dengan menghemat satu kata. Gabungan antara pelaksanaan dan penegakan, bisa jadi mubazir. Dalam bahasa Indonesia yang baik, penekanan seperti itu sering disebutkan. Hanya saja maksud saya menggunakan dua kata itu, hanya untuk menegaskan dua hal. Pertama, posisi kata pelaksanaan untuk menegaskan tugas yang tidak terelakkan berdasarkan tugas dan fungsi dari penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Kedua, posisi penegakan adalah upaya yang dilakukan oleh penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Negara-negara kesejahteraan sudah membagi-bagi kapling kekuasaan yang berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Kekuasaan pembentuk undang-undang, yang dipisahkan dengan kekuasaan yang mengawasi dan melaksanakan, serta mereka yang menjalankan urusan peradilan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Pernah ada suasana tumpang tindih di negara kita, ketika lembaga-lembaga yang seharusnya bisa netral, ternyata dalam urusan administrasi dan keuangan harus berada di bawah kontrol eksekutif.

Penegak hukum menjalankan kekuasaan pelaksana undang-undang. Ketika melaksanakan kekuasaan ini (mungkin lebih mengerucut jika disebut atau setidaknya dilihat sebagai kewenangan), posisi penegak hukum juga tidak bisa dilepaskan secara nyata dari berbagai faktor lain yang mengelilinginya. Penegak hukum –walau oleh kredo hukum digambarkan hukum harus tetap tegak walau langit runtuh, namun posisinya selalu berhadap-hadapan dengan proses-proses yang membatasi pelaksanaan penegakan hukum.

Posisi di atas penting disebut, agar berbagai hubungan dalam penegakan hukum dapat dipahami secara utuh. Apalagi secara internal, persoalan penegak hukum juga tidak kalah penting mendapat perhatian. Suatu kali, diskusi pagi di televisi nasional, seorang pemateri, menyentuh hal yang menurut saya lumayan sensitif di negara ini. Ia berharap negara melalui aparatnya, dalam melakukan penegakan hukum, untuk kasus apapun, tetap harus menjaga akuntabilitasnya. Bahkan untuk kasus yang berada di nomor wahid harus diberantas sekali pun, tetap harus berlaku akuntabilitas. Tidak boleh semena-mena. Termasuk mereka yang sudah dihukum, ketika diterapkan penghukuman, tetap harus terukur dengan apa yang sudah diatur, dan tidak melebihi dari yang seharusnya. Negara harus melakukan penegakan dan penghukuman sesuai dengan apa yang sudah digariskan.

Selama ini kasus paling sensitif adalah kasus teroris. Negara bergerak dengan kekuatan penuh dalam memberantas teroris. Namun memperlakuan mereka yang baru terduga, juga harus ada ukurannya. Ketika ada orang yang baru diduga melakukan tindak terorisme, lalu diperlakukan seperti orang yang bukan baru terduga, maka negara sudah tidak mengindahkan perlunya akuntabilitas. Parahnya kadang-kadang negara –melalui aparaturnya—bahkan memberlakukan hal yang tidak seharusnya untuk mereka yang mengingatkan perlunya akuntabilitas dari negara. Sederhananya, bukan hanya mereka yang baru terduga saja, melainkan orang-orang yang mengingatkan dan mempertanyakan akuntabilitas terhadap penegakan hukum sekalipun, tidak jarang posisinya dianggap sama.

Selain sejumlah kasus penting, dalam kasus lain, seperti korupsi dan narkotika dan obat-obat terlarang, semua membutuhkan akuntabilitas. Semua perilaku negara dalam melakukan penegakan hukum harus terukur. Hal-hal yang dilakukan, tetap harus bisa dipertanggungjawabkan. Ketika negara tidak bisa menjamin adanya kondisi ini, maka yang berlaku adalah suka-suka. Tentu hal tersebut tidak baik dan justru bertolak belakang dengan kepentingan bernegara. Di pihak lain, dalam kenyataan, kadang-kadang ada sebagian orang yang tidak mendukung akuntabilitasnya ini. Dengan berbagai kepentingan yang tersimpan, seseorang yang sesungguhnya bahkan belum dibuktikan bersalah atau tidak, justru sudah diperlakukan seperti orang yang bersalah. Pertanyaannya adalah bagaimana apabila kemudian seseorang yang diperlakukan tersebut ternyata tidak bisa dibuktikan bersalah?

Di sinilah negara harus benar-benar menjamin bahwa pelaksanaan penegakan hukum benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya orang yang baru diduga, ternyata mengalami sesuatu yang tidak seharusnya, maka negara juga harus bisa bertanggung jawab. Tidak boleh karena alasan sudah terduga, lalu negara bebas melakukan apapun, karena apabila itu terjadi, maka itu sama seperti pengadilan jalanan yang tidak membutuhkan pengadilan untuk itu. Lalu mengapa ada pengadilan.

Orang yang menjadi penguasa, harus bertanggung jawab lahir batin tentang ini. Apapun yang dilakukan, tidak hanya untuk dan bertanggung jawab di hadapan negara, karena suatu saat nanti, siapapun dan apapun yang dilakukan akan berada di hadapan mahkamah sesungguhnya: mahkamah Pencipta. Di hadapan mahkamah manusia kita mungkin bisa berkelit.

Saat mengakhiri sesi kuliah, beberapa kali saya perlihatkan kepada mahasiswa dua foto yang berbeda. Foto yang satu, memperlihatkan bagaimana penegak hukum demikian luar biasa saat menangkap penjahat kelas teri, dan dalam rubrik-rubrik kriminal siaran televisi, memperlakukan mereka juga sering tidak terukur. Foto yang lain, ketika ada penjahat kelas putih, disambut oleh pejabat hukum dengan badan membungkuk.

Satu catatan lagi, teringat apa yang disebut guru saya, Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa penegak hukum sendiri berhadapan dengan hal yang tidak terduga. Ia menyebut ada penegak hukum kantoran dan penegak hukum lapangan. Penegak hukum kantoran jarang berhadapan dengan risiko tinggi, seperti halnya penegak hukum lapangan yang dalam sekian detik harus mengambil keputusan: menembak atau ditembak.

Leave a Comment