Menilik Cara Pengelola Negara Memahami SDA

Pada tanggal 18-19 Agustus 1998, ada hajatan penting yang dilaksanakan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, United Nation Development Program (UNDP), dan Ford Foundation, yakni Lokakarya Reformasi Hukum …

Pada tanggal 18-19 Agustus 1998, ada hajatan penting yang dilaksanakan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, United Nation Development Program (UNDP), dan Ford Foundation, yakni Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Hadir sebanyak 15 pakar waktu yang menjadi pembicara, antara lain Prof. Dr. Muladi, S.H., Dr. Ir. Muslimin Nasution, Mas Ahmad Santosa, S.H.,LLM., Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono, S.H.,MCL.,MPL., Arie Suganti Hutagalung, S.H.,LLM., Prof. Dr. Hasanu Simon, Sulaiman N. Sembiring, S.H., Dr. Setijati D. Sastradipradja, TA. Nurwinakun, S.H., Chalid Muhammad, S.H., Ir. Budiman Arief, Ir. Sudar D. Armando, M.Agr., Dr. Etty R. Agoes, S.H., Gayatri L. Lilley, M.Sc., dan Prof. Dr. TO. Ihromi, S.H.

Ada dua hal yang menarik –sekaligus penting dan strategis—terkait kegiatan ini. Pertama, dengan coba melirik kembali situasi sosial-ekonomi-politik pada tahun 1998 yang tidak baik-baik saja, masih ada sekelompok orang memikirkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Saya kira, kondisi dan situasi tersebut tidak mudah untuk direspons, saat sedang gejolak yang terjadi saat pergantian kepemimpinan nasional setelah melalui demo mahasiswa: tanggal 21 Mei 1998. Setelah mundurnya Presiden Soeharto, Wakil Presiden BJ. Habibie naik menjadi presiden Indonesia yang ketiga.

Walau ada angin segar yang dibangun Habibie, gejolak masih terasa. Belum lagi ada banyak persoalan bangsa dan daerah yang muncul kepermukaan, selain masalah SDA, misal gugatan sejumlah daerah terkait negara kesatuan, serta hal-hal substansi dan hakikat kenegaraan dibicarakan secara bebas.

Kedua, inisiatif untuk merekam berbagai hasil lokakarya tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dokumen buku ini menjadi sangat penting bagi proses pembelajaran –kalau pun tidak sampai pada upaya melihat bagaimana politik hukum yang dijalankan negara dan pengelolanya terkait SDA. Makanya saya akan melihat tiga makalah saja yang terkait dengan apa yang mau saya tuliskan, yakni Muladi, Mas Achmad Santosa, dan TO Ihromi.

Buku ini sendiri diterbitkan pada April 1999. Dengan demikian ada jeda sekitar setengah tahun dari pelaksanaan lokakarya hingga terbitnya buku. Dan saya tahu, tradisi semacam ini –baik dulu maupun sekarang—tidak dimiliki oleh semua komunitas ilmiah. Hanya sedikit saja yang berpikir jauh semacam ini, dan salah satunya, saya kira ICEL ini.

Dalam pengantar buku, Mas Achmad Santosa menyebut dengan tegas bahwa politik hukum SDA di Indonesia sampai saat ini (1999) lebih didasarkan pada kepentingan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan ekonomi pada awal Orde Baru (setelah 1966). SDA (hutan, tambang, air, dan mineral) dipandang serta dipahami dalam konteks economic sense dan belum dipahami sebagai ecological and sustainable sense.

Leave a Comment