Hukum yang menimbang nilai, bukan tanpa perhatian di kalangan para sarjana. Namun ketika Indonesia merdeka, hukum yang diajarkan justru ilmu hukum yang waktu itu digunakan di negara kolonial. Prof. Sidharta menulis, “Hingga sekarang sisa-sisa ilmu hukum Belanda masih terasa dalam ruang kuliah di Fakultas Hukum Indonesia. Langkah-langkah mencari ilmu hukum khas Indonesia memang pernah diupayakan oleh ahli-ahli hukum Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung dalam hukum adat, tetapi kajian mereka pun tetap bersandar pada warisan Belanda, terutama 19 lingkungan hukum adat karya Van Vollenhoven tanpa ada keinginan untuk menelaah validitasnya di lapangan (Sidharta, 2013).
Yang menarik menurut Shidarta adalah penggantian sistem hukum dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan lebih banyak bernuansa politis ketimbang akademis. Menurut Sidharta, “Ilmu hukum pada dasarnya lebih banyak berbicara tentang hukum positif Indonesia, masih didominasi fondasi hukum pokok seperti perdata dan pidana. Keduanya masih berpegang erat pada kodifikasi produk jaman Belanda. Hanya bidang-bidang parsial saja yang terus berkembang secara tambal sulam, seiring dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang baru. Satu-satunya lapangan hukum yang terlihat cukup signifikan adalah bidang hukum tata negara. Ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) memberi landasan yang kuat bagi lahirnya sistem hukum yang khas Indonesia, sehingga diharapkan lahir ilmu hukum nasional Indonesia” (Sidharta, 2013).
Saya kira, apa yang dibicarakan sebelumnya, ada yang berkembang dalam satu dekade terakhir. Yang paling penting, perkembangan KUHP baru, yang akan berlaku pada 2026 mendatang. Akan tetapi bagaimana pun perkembangan pada waktu itu, apa yang diungkapkan Profesor Sidharta ketika masih hidup, sangat penting bagi para kalangan hukum kemudian (baik pengemban hukum teoritis maupun praktis). Apa yang disebutnya sebagai ilmu hukum nasional Indonesia, tetap penting bagi kalangan hukum. Ada tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang perlu dibangun, yakni: Pertama, paradigma ilmu hukum nasional Indonesia mengacu cita hukum Pancasila, dengan tujuan hukum pengayoman, konsep negara hukum Pancasila, wawasan kebangsaan, dan wawasan nusantara. Kedua, objek pengolahan sistematisasinya adalah tatanan hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ketiga, kegunaan studi dan pengembangan (pembinaan) ilmu hukum nasional Indonesia dewasa ini adalah untuk peningkatan mutu penyelenggara hukum sehari-hari dan pelaksanaan pembangunan tata hukum nasional Indonesia dengan mengolah masukan dari berbagai ilmu lain dalam menganalisa dan mengarahkan perubahan sosial, serta mengantisipasi dan mengakomodasi dampak perkembangan di masa depan (Sidharta, 2013).
Istilah hukum khas Indonesia sendiri bukanlah term baru di Indonesia. Sejumlah kajian yang mengarah pada konteks ini, sudah dilakukan para sarjana pada eranya, misalnya Soepomo, Soediman Kartohadiprodjo, Soekanto, Djokosutono, Hazairin, Dojodigoeno, Mohammad Koesnoe, Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusuma-Atmaja, dan Sunarjati Hartono (Dimyati, 2005). Atau jika term ini diperluas, bahwa hukum khas Indonesia termasuk ilmu hukum khas Indonesia, sejumlah sarjana masuk di dalamnya, seperti Muladi, Barda Nawawi Arief, Soerjono Soekanto, dan B. Arief Sidharta. Dalam tulisan-tulisan B. Arief Sidharta, menegaskan tentang paham hukum kita yang sangat penting sebagai muatannya.
Dengan demikian, mendudukkan hukum khas Indonesia sesungguhnya untuk membedakan dari corak berpikir Barat dalam hukum selama ini mendominasi cara berfikir kita. Sebagaimana ditegaskan B. Arief Sidharta, hukum khas Indonesia menempatkan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD tersebut. Cita hukum Pancasila dalam makna ini, berakar dalam pandangan hidup Pancasila dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan menegara dan nilai dasar yang terkandung didalamnya (Setiardja, 2007). Pandangan ini sendiri bertolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, sebagai suatu keseluruhan yang terjadi secara harmonis, diciptakan oleh Tuhan. Makanya keberadaan manusia tidak terlepas dari Tuhan, termasuk pada kebersamaan sebagai struktur dasar keberadaan manusia terikat pada alam dan Tuhan yang dirumuskan dalam bentuk sila-sila dasar negara (Kartohadiprojo, 2007).
Berdasarkan nilai dalam Pancasila, Barda Nawawi Arief mengerucut pada tiga paradigma saat berbicara hukum khas Indonesia, yakni moral religius, humanis, dan berkeadilan sosial (Arief, 2012).
Apakah hukum khas Indonesia tidak bisa dijadikan cita-cita dalam menjadikan negara hukum dalam arti luas? Yakni negara hukum yang percaya pada bimbingan dan pertimbangan Tuhan Yang Maha Esa), yang membawa kehidupan yang demokrasi, keadilan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian (Hartono, 2008).
Sesungguhnya, pertanyaan di atas tidak berlebihan. Apalagi jika berpikir bagaimana penegasan cita hukum dalam UUD 1945, kalau bukan untuk memperteguh batasan dan melingkari lingkup penyelenggaraan hukum, yang di dalamnya termasuk pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum. Saya kira gagasan ini sangat prospektif. Apalagi dengan kegiatan besar yang dilakukan MPR terkait Sosialisasi Empat Pilar. Sejauhmana mentalitas kita era kekinian dalam hidup dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan pada pendiri bangsa, sungguh seharusnya kita sudah bisa mengukurnya dengan baik.