Dalam kajian hukum dan masyarakat, terkait dengan bagaimana kaitan momerandum of understanding (MoU) dan undang-undang menjadi perhatian hukum. Salah satu konsep yang diajukan untuk hal tersebut adalah hukum produk manusia selalu dalam “proses menjadi”. Proses law making yang dalam hukum progresif, selalu memungkinkan untuk terus diperbaiki (Rahadjo, 2006; Rahardjo, 2011; Rahardjo, 2011).
Beberapa pertanyaan dalam konsep ini adalah apakah sebuah undang-undang bisa menjawab semua hal? Bukankah masalah yang dihadapi manusia jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dikongkretkan dalam sebuah undang-undang? Bukankah permasalahan manusia jauh lebih kompleks dan cepat berubah ketimbang dengan undang-undang?
Pertanyaan-pertanyaan sosiologis di atas bisa saja muncul dalam memaknai lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sebagai sebuah undang-undang yang lahir dari kepentingan dari sebuah konsensus, melalui suatu MoU damai, tentu isinya harus memastikan ketertampungan MoU ke dalamnya.
Dalam konteks bagaimana hubungan tersebut, paling tidak kita bisa pastikan dengan merujuk pada dua kunci penting yang selalu harus diingat (dan ini tersurat dalam konsiderans Undang-Undang Pemerintahan Aceh), yakni: Pertama, bencana yang melahirkan kesadaran untuk perwujudan perdamaian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesadaran ini yang melahirkan komitmen penyelesaian konflik berkelanjutan “hitam di atas putih” melalui sebuah MoU dilanjutkan pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Kedua, Undang-Undang Pemerintahan Aceh juga harus mengkonkretkan prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh untuk dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Dengan bersandarkan pada dua kunci penting tersebut, ada dua pertanyaan terkait yang juga harus terjawab, yakni:
Pertama, apakah semua isi MoU itu tertampung dalam undang-undang? Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh tidak seutuhnya menampung apa yang ada dalam MoU.
Kondisi ini bisa dipahami karena kewenangan untuk melaksanakan dua hal tersebut berada di dua lembaga berbeda. MoU ditandatangani oleh pemerintah, sementara kewenangan pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh ada pada dua lembaga pembentuk undang-undang, yakni eksekutif-legislatif. Dengan lembaga yang berbeda, maka tafsir atas apa yang disepakati juga berbeda. Berbagai perbedaan pandang inilah antara lain yang dirasakan hingga sekarang ini.
Kedua, apakah apa yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah semuanya dituntaskan?
Pertanyaan ini juga sangat penting, karena pada kenyataannya masih ada beberapa ketentuan pelaksana Undang-Undang Pemerintahan Aceh hingga kini masih belum tuntas. Patut diingat bahwa ketentuan pelaksana tidak hanya apa yang menjadi kewajiban pemerintah (Jakarta). Pada kenyataannya, belum semua qanun juga diselesaikan pada tingkat Aceh.