MUSIM kunjung-mengunjung itu telah tiba kembali. Kalau tak aral melintang, dalam tahun ini, peutua Gampong Seulaseh akan dipilih kembali. Dipilih secara langsung, membuat semua persiapan harus dilakukan dengan matang.
Komite pelaksanaan pemilih waktu pemilihan umum, sudah tidak dipakai lagi. Di Gampong Seulaseh, sudah ada aturan baru, di mana badan pelaksanaannya harus yang bertera independen. Merekalah yang bertanggung jawab proses pemilihan peutua sampai selesai.
Sejak beberapa bulan lalu badan itu sudah bergeriwat. Akhir bulan ini, badan independen sudah mulai melakukan pendataan penghuni gampong. Orang-orang didata dan diberikan kartu pemilih agar bisa mencoblos di hari “h”. Kartu pemilih itu yang jadi penanda seseorang gampong bisa atau tidaknya untuk ikut dalam proses pemilihan sang peutua.
Dengan bertambah dengan kartu pemilih itu, orang gampong sudah memiliki beberapa jenis kartu. Ada kartu penduduk, ada kartu organisasi, ada kartu profesi, ada kartu pemilih, dan sebagainya. Hitung-hitung, seorang gampong bisa memiliki empat sampai lima jenis kartu setiap tahunnya. Belum lagi mereka yang memiliki kendaraan, juga harus memakai kartu.
Jumlah jenis kartu tersebut, tentu sangat kurang bila dibandingkan mereka yang hidup di kota-kota. Berbagai jenis kartu diantar ke rumah, terutama yang berhubungan dengan bayar-membayar.
Tapi tujuan pemberian kartu di Gampong Seulaseh akan berbeda dengan kartu bayar-membayar di kota-kota. Ini hanya untuk memastikan semua orang bisa ikut terlibat saat pemilihan peutua berlangsung.
Di gampong sedang ada perubahan paradigma. Dulu, proses pemilihan dilakukan oleh beberapa orang saja. Ada utusan para cerdik-pandai, pemuda, orang tua, perempuan, bahkan anak-anak. Penentu terpilihnya peutua berada di tangan beberapa unsur di gampong. Merekalah yang memilih peutua.
Sesuai dengan perkembangan demokrasi moderen, cara-cara seperti itu sudah dianggap tidak aspiratif lagi. Sudah tidak relevan. Berlakulah, one man one vote. Semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih, walau semua orang juga berpotensi untuk tidak bisa memilih, mungkin karena alasan sesuatu semisal tidak sehat akal.
Persoalan akal sehat, tentu bukan hanya dialami mereka yang kebetulan dititipkan ke rumah sakit khusus masalah kejiwaan. Kalau masa penjajahan Belanda dulu, orang-orang yang dianggap bermasalah dengan akal sehatnya dan akan dikirimkan ke Sabang untuk jak sukat ie lam raga.
Ternyata masih banyak orang yang tak sehat akal di luar itu, dan lebih dari sekedar orang-orang yang dititipkan di rumah sakit yang menentukan seseorang bermasalah dengan kejiwaannya.
Ketika seseorang merasa terasing dengan dunianya, maka sebenarnya sudah dapat dianggap tak sehat akal. Tapi ini akan berbeda dengan pemahaman sebagian orang. Tak sehat akal, hanya dianggap orang-orang yang dititipkan di rumah sakit khusus masalah kejiwaan semata.
Padahal, di luar itu, banyak sekali masyarakat yang tak sehat akalnya. Orang-orang yang melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, adalah orang-orang yang bermasalah dengan kejiwaan. Orang-orang yang tidak menggunakan ilmunya untuk kebenaran, juga dapat dimasukkan ke dalam golongan ini.
Jadi konsep tak sehat, menjadi sangat luas. Dengan diam saja membiarkan kezaliman, sudah bisa dianggap tak sehat akal. Apalagi kalau melakukan sesuatu yang berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran.
Intinya, orang yang membiarkan kezaliman bisa dianggap tak sehat karena tak mampu memperbaiki jalan peradaban. Sederhananya, bagaimana bisa seorang ikut memilih orang lain, sedang untuk menentukan jalan kehidupannya ke arah yang lebih baik saja tidak mampu dilakukan. Bukankah begitu?
Nah, bila konsep ini diterima, maka sungguh orang yang tak sehat itu cukup banyak jumlahnya. Tapi kerap, pada akhirnya kenyataan seperti ini tidak bakal diterima sebagai sebuah konsep. Akhirnya, orang-orang yang tak sehat pun akan menentukan pilihan untuk memilih orang lain.
Syahdan, proses penggapaian hasil yang memuaskan akan dilalui dengan berbagai rumusan. Bagi seorang yang berkeinginan menjadi peutua akan membina hubungan yang baik dengan golongan-golongan sentral.
Salah satunya, ada Waki Brahim, sebagai seorang gampong yang berkemampuan cuap-cuap. Profesi ini memang tidak perlu cakap. Apalagi di samping meunasah, waki memiliki sebuah warung kopi yang sangat strategis. Karena itu waki memiliki komunitas yang jelas.
Tak mengherankan bila hampir setiap waktu ada saja tamu yang datang secara bergantian. Tim sukses maupun tim tidak sukses, kerap singgah walau hanya sebentar. Paling tidak, mereka akan datang untuk setor muka. Sejak berbulan-bulan lalu sebelum muncul ketetapan tanggal pemilihan peutua, proses kunjung-mengunjung sudah berlangsung ramai.
Warung Waki Hasan, tak saja sebagai tempat minum kopi. Lokasi itu sudah terlanjur dianggap sebagai sentral membangun kekuatan politik. Siapa yang bisa menguasai warung itu secara efektif, biasanya ia akan memenangkan pemilihan setiap pemilihan.
Makanya semua calon peutua juga berlomba-lomba ke sana. Ketika tim sukses sudah dianggap tak lagi menjual, maka para calon sendiri yang datang ke sana dan berusaha untuk membayar harga kopi semua pengunjung.
Tak lupa, saat membayar harga kopi, para calon membisiki sesuatu ke telinga waki. Tak ada yang tahu apa maksudnya. Semua calon melakukan manuver serupa. Waki hanya mengangguk-ngangguk saja.
Ketika proses kunjungan selesai, waki membuat info untuk pengunjungnya yang ditempel di sudut kedai. Di sudut info, ditempel foto ukuran post card. Isinya kira-kira: telah berkunjung ke tempat kami yang ramai, Pulan yang terhormat, untuk saling duduk bersama mencari solusi berbagai persoalan.
(Kerap, mencari solusi permasalahan hanya dilakukan saat mendekati proses pemilihan. Sesudah itu, semua berjalan sendiri-sendiri, tak ada lagi hubungan yang timbal-balik antara satu dengan yang lain).
Beberapa info sudah lebih dahulu tertempel di sana. Ini berarti sebelum Pulan, sudah ada beberapa calon yang lebih dulu hadir. Tapi sesudah beberapa waktu, orang juga tak bisa memprediksikan siapa yang akan menjadi pemenang, karena ternyata aturan yang membuat semua calon sudah mempersiapkan diri, ternyata belum selesai dibuat oleh pihak berwenang.
Tapi proses ini bagai harus dilalui bagi seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai peutua. Terlepas sesudah ia membayar kopi pengunjung warung, akhirnya tak terpilih. Itu persoalan lain.
Akhir-akhir ini, karena musimnya kunjung-mengunjung, sudah banyak anak-anak muda yang menuntut ilmu datang ke warung. Mereka duduk berjam-jam sambil memesan kopi, dan tak perlu membayar karena secara bergantian calon peutua akan datang membayarnya sampai lunas.
Terbayangkah, kalau dalam setiap pemilihan, ternyata bayar-membayar kopi juga sangat menentukan? Ironisnya, itu sudah dianggap sebagai sehat.