Mengapa kekuasaan itu mesti dibatasi? Apalagi penguasa-penguasa negara, yang kerap diberikan kekuasaan besar, dengan berbagai imunitas. Kekuasaan politik kerap berjuang agar seorang pejabat negara, memiliki imunitas yang lebih. Padahal kenegarawanan seseorang diukur oleh sejauh mana ia mau untuk ikut kebijaksanaan umum dalam kehidupan sosialnya.
Jika dipelajari perjalanan sejarah banyak negara, tarik-menarik terkait pengembungan kekuasaan, dominan terjadi. Orang dan kelompok berusaha keras untuk mendapatkan kuasa, tidak lain untuk mendapat segala keistimewaan yang dari awal dibentuk dan dipelihara. Keistimewaan ini yang kemudian digunakan untuk memberi keuntungan pada kelompok kuasa maupun ekonomi-politiknya. Apa yang disebut sebagai oligarki, pada dasarnya wakil dari wajah sengkarut ini.
Bagaimana sih cara membatasi kekuasaan? Bukankah penguasa memiliki segala-galanya yang tidak memiliki oleh mereka yang tidak punya kuasa? Lalu bagaimana pula cara membatasinya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul ketika membahas yang namanya penguasa negara. Semua pertanyaan yang tampaknya sederhana.
Dalam kelas, saya sering memberi umpama: betapa pada masa lalu, di tempat tertentu, yang kekuasaannya tidak dibatasi, apa pun memungkinkan dilakukan oleh penguasa. Mohon maaf, seseorang yang kesalahan tidak sengaja, seumpama keluar kentut, memungkinkan untuk dihukum semena-mena –bahkan bisa saja disuruh bunuh. Apalagi untuk penguasa yang absolut, tersentral kekuasaannya, tidak ada distribusi atau pembagian kekuasaan –apalagi pemisahan. Semuanya ditentukan satu orang. Pada pola kuasa semacam ini, semuanya lahir dari mulut satu orang. Tidak ada koreksi, apalagi refleksi. Tidak bantah, yang ada hanya menerima apa yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa.
Sebelum terjadi revolusi politik di Prancis, suasana semacam ini terjadi. Sejumlah tempat di dunia, merasakan hal yang sama. Kekuasaan-kekuasaan yang tidak terkontrol dan terpusat, memungkinkan dilakukan apa pun. Tidak pembatasan kekuasaan, sekaligus tidak ada pula batasan waktu untuk berkuasa. Tidak ada kitab apapun yang menjadi rujukan untuk mengatur hak dan kewajiban warga, dan semacamnya.
Ada seorang raja yang melegenda, dan memperkenalkan ungkapan bahwa negara adalah saya. Raja Louis XIV di Prancis –anak Raja Prancis sebelumnya, Louis XIII. Ia lahir pada 5 September 1638 dan meninggal 1 September 1715 –dengan usia 77 tahun. Karena ia mulai dinobatkan sebagai raja pada usia lima tahun, praktis, ia berkuasa selama 72 tahun. Salah seorang raja yang berkuasa paling lama di dunia.
Serangkaian kisah turut berpengaruh hingga terjadi Revolusi Prancis (Sungkar, 2007). Dari revolusi ini, kemudian orang-orang mengambil hikmah untuk melakukan pengaturan bagi mereka yang memegang kuasa. Tidak mungkin para penguasa memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Manusia yang berkuasa harus memiliki batasan, baik segi waktu maupun apa yang dilakukannya.
Dalam satu opini Ikrar Nusa Bhakti, seorang peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 1984-2017, menulis bahwa Raja Louis XIV dari Prancis pernah menyatakan kepada anggota Parlemen Paris pada 13 April 1655, L’etat c’est moi (negara adalah saya). Louis XIV merupakan penguasa absolut yang menganggap dialah penguasa tunggal yang harus dipatuhi. Pernyataan tersebut yang menyulut gerakan perlawanan rakyat terhadap sang raja yang absolut dan menimbulkan Revolusi Prancis dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan) (Bhakti, 2023).
Itulah alasannya mengapa di negara-negara beradab, kekuasaan itu diatur dengan baik. Tidak dibiarkan seseorang yang memegang kekuasaan, bebas melakukan apa pun dan terhadap siapa pun. Ada batasan yang dari awal sudah disiapkan. Dengan batasan ini, membuat siapa pun tidak boleh semena-mena.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.