Penelusuran Hukum dan Pendokumentasian Hukum

Materi ini, terkandung tiga hal di dalamnya, yakni penelusuran, pendokumentasian, dan hukum. Ketiga hal ini harus dijelaskan terlebih dahulu, agar kita mendapat gambaran bagaimana semuanya itu dioperasionalkan. Kata ‘penelusuran’ berasal dari kata ‘telusur’, menurut Kamus …

Materi ini, terkandung tiga hal di dalamnya, yakni penelusuran, pendokumentasian, dan hukum. Ketiga hal ini harus dijelaskan terlebih dahulu, agar kita mendapat gambaran bagaimana semuanya itu dioperasionalkan.

Kata ‘penelusuran’ berasal dari kata ‘telusur’, menurut Kamus Bahasa Indonesia yang berarti ‘penelahaan; penjajakan’. Istilah ‘telusur’, bermakna (1) berjalan sepanjang tepi (sungai, jalan); (2) menelaah; menjajaki; mengusut.

Kata ‘pendokumentasian’ berasal dari kata ‘dokumentasi’, yang berarti (1) pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan; (2) pemberian atau pengumpulan bukti dan keterangan (seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan referensi lain. Pendokumentasian menunjuk pada proses, cara, perbuatan mendokumentasikan [mengatur dan menyimpan sebagai dokumen].

Satu kata lagi, hukum, ada banyak versi artinya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata ‘hukum’ diartikan (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan), vonis.

Dalam literatur hukum, kata ‘hukum’ diartikan secara beragam. Achmad Ali  (Ali, 2002) menulis satu bab khusus tentang apakah hukum itu? Hal yang menarik, Achmad Ali menegaskan kesulitan pendefinisian hukum. Sejumlah definisi, antara lain: (1) Jhering, hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal); (2) Bellefroid, hukum yang berlaku dalam masyarakat mengatur tata tertib masyarakat, dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu; (3) Leon Duguit, hukum adalah tingkah laku warga masyarakat, yang merupakan aturan dimaan daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga masyarakat sebagai jaminan bagi kepentingan bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran; (4) Holmes, hukum adalah apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang sesuatu persengketaan; (5) Curzon, hukum hanyalah sesuatu yang bertalian dengan pengadilan; (6) Paul Bohanan, hukum adalah himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali oleh pranata hukum; (7) Pupisil, hukum adalah aturan-aturan atau mode-mode tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui mana suatu otoritas pengendalian; (8) Savigny, keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam; (9) John Austin, hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa, merupakan otoritas tertinggi); (10) Kelsen, hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia, hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

Menurut Satjipto Rahardjo (Rahardjo, 2006) hukum itu berada dalam lingkup keilmuan yang luas. Jika diurutkan dalam daftar masalah terkait ilmu ini, ada sejumlah hal yang dipelajari, yakni: (1) asas-asas hukum yang pokok; (2) sistem formal hukum; (3) konsepsi-konsepsi hukum dan arti fungsionalnya dalam masyarakat; (4) kepentingan-kepentingan sosial apa saja yang dilindungi oleh hukum; (5) ingin mengetahui tentang apa sesungguhnya hukum itu, dari mana dia datang/muncul, apa yang dilakukannya, dan dengan cara-cara apa ia melakukan hal itu; (6) apakah keadilan itu dan bagaimana ia diwujudkan melalui hukum; (7) perkembangan hukum, apakah hukum itu sejak dahulu sama dengan yang kita kenal sekarang ini? Bagaimana sesungguhnya hukum itu berubah dari masa ke masa? (8) pemikiran-pemikiran orang mengenai hukum sepanjang masa; (9) bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum itu dalam masyarakat. Bagaimana hubungan atau perkaitan antara hukum dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat, seperti politik, ekonomi, dan sebagainya; (10) apabila ilmu hukum itu memang bisa disebut sebagai ilmu, bagaimanakah sifat-sifat atau karakteristik keilmuan itu?

Apa yang diungkapkan oleh Rahardjo, mungkin sangat luas bagi sebagian pihak. Bahkan lebih radikal, ada sebagian yang menganggap konteks itu sudah terlalu melebar dari hukum. Saya sendiri merasa orang-orang yang kelak berposisi sebagai pengemban hukum, harus memahami konsep dan konteks yang luas tentang hukum itu.

Bruggink (Bruggink, 2000) membantu memetakan terkait keberadaan hukum dan berbagai hal dalam kehidupan kita. Hukum tidak mungkin dilepaskan dari konteks yang sangat luas dalam kehidupan manusia, walau konsep dan operasionalnya tetap memiliki batas tertentu.

Materi ini terkait dengan keberadaan profesi advokat yang secara akademis disebut sebagai pengemban hukum praktis (Sulaiman, 2015).

Istilah pengembanan hukum sangat familiar bagi kalangan akademisi hukum, terutama berkat  kajian B. Arief Sidharta (1999). Menurut Sidharta istilah “pengembanan” berarti “memikul atau  menyandang tugas dan kewajiban untuk melaksanakan, menjalankan, mengurus, memelihara,  mengolah, dan mengembangkan suatu jenis kegiatan tertentu, dan secara moral bertanggung jawab  untuk itu”.  Secara khusus, ada tekanan Sidharta mengenai tanggung jawab secara moral atas berbagai  tugas dan kewajiban sebagaimana dipikul. Dengan demikian tidak berhenti pada sejumlah aktivitas sebagaimana disebutkan di atas (Sidharta, 2012).

Dalam satu terjemahan lain dari B. Arief Sidharta, dari pendapat Meuwissen  (Meuwissen, 2008), disebutkan  secara lengkap mengenai pengembanan hukum tersebut, yakni:  Pengembanan hukum (rechtsbeoefening) adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan, meneliti, dan secara sistematikal mempelajari dan mengajarkan hukum (Peursen, 2005).

Oleh Shidarta pengembanan hukum di Indonesia disebutkan sebagai “kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di Indonesia, yang secara keseluruhan meliputi pengembanan hukum teoritis dan praktis”.  Pengembanan hukum tersebut, seterusnya terbagi ke dalam dua bentuk, yakni pengembanan hukum  praktikal dan pengembanan hukum teoritikal. Pengembanan hukum praktikal terkait dengan  “pergaulan dengan hukum dalam kehidupan nyata”. Pengembanan hukum praktikal terdiri atas pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Pembentukan hukum sendiri terbagi  lagi ke dalam peraturan perundang-undangan, putusan konkret, dan tindakan nyata (Shidarta, 2013).

Penjelasan di atas, akan memberi gambaran posisi advokat sebagai pengemban hukum praktis. Dalam aktivitasnya, pengemban hukum praktis tidak bisa menghindarkan diri dari tiga konteks perbincangan hukum, yakni: (1) hukum yang selalu berkorespondensi dengan pencarian makna; (2) praktik hukum yang selalu tampak dalam multi wajah; (3) kebenaran hukum itu selalu berelasi dengan proses berhukum.

Apakah pengemban hukum praktis akan terkait bahasan sejauh itu? Menurut saya tidak terhindarkan, apalagi saat menangani hal-hal tertentu, dalam menyelesaikan kasus-kasus yang sangat rumit.

Penelusuran Hukum

Materi ini diharapkan dapat menuntaskan kepentingan isu yang disebut di atas. Penelusuran hukum, tidak bisa dilepaskan dari konsep metode penelitian. Konsep dasar yang telah diungkapkan di awal, merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia, tidak berbeda saat konsep itu digunakan sebagai istilah hukum. Sri Mamudji (Mamudji, 2007) dan Soetandyo Wignjosoebroto menyebut istilah penelusuran, sama seperti kata mencari (searching) (Wignjosoebroto, 2002). Kata ini sendiri sama dengan kata meneliti, yang berarti selaras dengan usaha untuk melihat kembali.

Penelusuran hukum dilakukan, tidak terlepas dari kepentingan informasi dan referensi untuk mendapatkan bahan-bahan yang terkait dengan hukum –tepatnya dapat disebut peraturan perundang-undangan (Rahardjo, Lapisan-lapisan Hukum, 2009). Menurut Rahardjo (2006), lebih jauh, penelusuran hukum tidak terlepas dari usaha untuk menemukan landasan teoritis hukum yang tepat dalam rangka menyelesaikan suatu masalah hukum tertentu.

Menurut Sentosa Sembiring, penelusuran hukum terkait dengan upaya memetakan kasus dan menyelesaikan kasus (Sembiring, 2008). Memetakan kasus terkait dengan posisi seorang pengemban profesi dapat memosisikan atau memetakan kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan konteks menyelesaikan kasus, harus dilihat secara internal untuk memudahkan pekerjaan profesi, dan secara eksternal dalam rangka selalu mencari bukti dan pembuktian kasus yang ingin diselesaikan (Sembiring, 2008).

Pendokumentasian Hukum

Terkait dengan dokumen, penelusuran dokumen hukum dapat dilakukan secara langsung, maupun dengan proses dokumen (YLBHI, 2006). Suatu dokumen hukum, dianggap dan memenuhi kadar sebagai dokumen, saat ia diperlakukan dokumen.

Secara sederhana, dokumen hukum itu ada yang langsung disamakan dengan bahan hukum (Marzuki, 2005), yang oleh sebagian sarjana hukum disebut sebagai data sekunder (Soekanto, 1985). Ada juga yang menyamakan dalam konteks penggunaannya (ND & Achmad, 2010).

Penggunaan istilah ini, juga selalu muncul perbedaan. Sarjana hukum yang menganggap istilah bahan hukum yang benar, tidak mungkin dipaksakan pendapat sarjana hukum yang menganggap bahwa data sekunder atau data kepustakaan hukum sebagai yang benar.

Bahan hukum yang dimaksud meliputi bahan hukum primer (seperti undang-undang, risalah resmi, putusan pengadilan, dan dokumen resmi negara), bahan hukum sekunder (terkait dengan jurnal dan buku-buku hukum terkait, termasuk hasil penelitian hukum), dan bahan hukum tertier (kamus hukum dan ensiklopedi hukum).

Sebagaimana diungkap di atas, penggunaan istilah ini, lebih jauh terkait bagaimana pencarian bahan ini dilakukan. Sebagian pihak memandang bahwa bahan hukum hanya berhenti dan duduk manis di belakang meja. Saya berpandangan bahwa bahan hukum yang saya anggap juga sepadan dengan istilah data, pun bisa dilakukan melalui penelusuran-penelusuran lapangan, khususnya terkait verifikasi dan pendalaman bahan yang ada. Tidak harapan untuk mendalami data ini dengan proses wawancara dan pendalaman bahan-bahan di berbagai tempat yang terkait. Bahan hukum, baik primer, sekunder, maupun tersier, pada dasarnya adalah mati. Ia digerakkan oleh manusia yang memakainya dalam berbagai konteks.

Bahan hukum ini, lebih jauh, mendapatkannya sudah tersedia dalam berbagai ruang, antara lain sebagai disebut (Rumani, Dwiyanto, & Subarsono, 2003). Dulu dokumentasi tersedia secara terbatas dan hanya hard copy. Orang-orang yang ingin mendapatkan satu dokumen hukum tertentu, harus meraihnya dengan biaya perjalanan yang mahal. Ada perkembangan bagaimana memungkin kita meraih data tertentu. Pada masa lalu, keberadaan pustaka dilihat secara fisik semata. Perkembangan kekinian, pustaka maya justru lebih berkembang. Keberadaan pustaka maya, tidak berarti menghilangkan pustaka fisik, namun berbagai dokumen yang dimiliki pustaka fisik bisa diproses untuk kepentingan online (maya). Data yang dasarnya hard copy, bisa menjadi soft copy.

Proses penelusuran secara maya, dapat dilakukan melalui jaringan internet, antara lain dengan browsing melalui jaringan. Ada sejumlah fasilitas jaringan seperti mozilla firefox, internet explorer, chrom, safari, dan opera. Selain jaringan, banyak pusat-pusat dokumentasi dan informasi hukum yang terus tumbuh. Berbagai ruang pengadilan, putusannya sudah bisa diakses dari mana saja. Web-web kantor pemerintah dan swasta sudah menyediakan informasi dan dokumen hukum sedemikian rupa [website  Badan Pembinaan Hukum Nasional , http://www.bphn.go.id; web Mahkamah Agung, http://www.mahkamahagung.go.id; web pengadilan seperti http://pn-bandaaceh.go.id, http://ms-bandaaceh.go.id, web informasi hukum seperti https://www.hukumonline.com, dan web yang sangat umum, seperti www.google.com.

Beberapa waktu yang lalu, kami berpengalaman berdiskusi dengan sejumlah akademisi yang menggagas satu ruang penelusuran hukum yang bernama E-Codification and Legal Information System, sarana penelusuran dan pengembangan hukum, antara lain Edmon Makarim, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (https://eclis.id/). Situs ini ditujukan untuk menjadi sarana penelusuran hukum dengan mencari konsistensi rumusan hukum dalam hukum positif, terkait usaha memahami hukum dan melihat sinkronisasi serta harmonisasi hukum demi mengembangkan sistem hukum nasional yang mandiri dan sesuai jati diri bangsa Indonesia.

Selain ruang tersebut, sejumlah program aplikasi android juga sudah tersedia sedemikian rupa, dengan perkembangan teknologi informasi yang berlangsung kencang sekali.

Catatan Akhir

Pada awal materi ini saya jelaskan tentang beragamnya cara orang memahami hukum. Hal ini penting karena konsep hukum tersebut tidak bisa dilepaskan dari bagaimana orang memahami hukum. Pemahaman masing-masing akan berbeda ketika mengoperasionalkan hukum dimaksud.

Berbagai realitas ini harus dipahami oleh mereka sebagai pengemban hukum. Tidak bisa dianggap sederhana, karena ia akan terkait dengan banyak hal dalam aktivitas mereka nantinya.

Saya berharap, semua proses hari ini akan memudahkan kehidupan semua pihak di kemudian hari.

Leave a Comment