Dunia hukum, berulang-ulang berduka. Oknum penegak hukum sebagai bagian dari struktur hukum yang terlibat dalam sejumlah kasus yang mengkhianati negara. Sejumlah kasus, oknum hukum ikut membantu orang yang dicari untuk dihukum. Kasus Djoko Tjandra, beberapa waktu yang lalu, jelas ada keterlibatan oknum penegak hukum. Oknum jaksa dan oknum polisi, bukan lagi pegawai kecil, ternyata masih mampu digoda oleh rayuan materi.
Pada waktu itu, yang kini juga bisa didengar proses pengadilan melalui video di jagad maya, ada oknum jaksa Pinangki memiliki gaya hidup mewah. Saat membantu Djoko Tjandra, ia mendapat bagian Rp 7 miliar. Bukankah sebuah bayaran yang fantastis? Sebegitu fantastis sehingga seorang abdi negara yang seharusnya membantu negara, justru membantu “musuh” negara. Entah berapa bayaran mereka yang mengeluarkan surat “keramat” yang membuat Djoko Djandra hilang namanya dari daftar orang yang dicari.
Teranglah seperti yang diingatkan guru saya, Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa undang-undang yang baik, masih belum cukup jika dalam struktur penegak hukum masih ada oknum yang membantu para bandit. Bukan saja dibutuhkan penegak hukum yang berani, melainkan juga penegak hukum yang bermental abdi negara, bukan bermental abdi pembayar.
Secara teoritis, merujuk pada teori sistem hukum Lawrence Meir Friedman (seorang ahli hukum dari Stanford University), jika melihat hukum sebagai sistem, maka ada tiga elemen yang semuanya dibutuhkan. Pertama, substansi hukum, antara lain isi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur segala sesuatu. Banyak peraturan perundang-undangan yang bisa digunakan untuk menangkap para penjahat dan bandit, namun penggunaannya masih membutuhkan keberanian dan mentalitas luhur dari struktur hukum.
Kedua, struktur hukum, elemen yang menggerakkan substansi hukum. Di dalam struktur hukum terdiri dari komponen para penegak hukum, mulai dari hulu hingga hilir; mulai dari pemeriksaan di awal hingga putusan hukum di akhir. Dalam struktur hukum, antara lain ada lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga kehakiman, lembaga penyelesaian sengketa, dan pengadilan.
Ketiga, kultur hukum, bagaimana masyarakat turut menentukan dalam hukum berhukum, antara lain dalam bentuk kesadaran dan budaya hukum. Tanpa kesadaran ini, sulit substansi dan struktur hukum itu akan didayagunakan.
Teori ini sebenarnya sudah berusia lebih empat dekade, namun masih digunakan sebagian besar perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum.