Perhatian Penuh dan Penuh Perhatian

Perhatian orang tua, sering diberikan dan ditafsir berbagai rupa. Ada orang tua yang seolah memberi perhatian anaknya harus dengan mencukupi berbagai fasilitas mewah yang dibutuhkan. Anak juga merasakan begitu, seolah sebelum dibelikan motor, belum lengkap …

Perhatian orang tua, sering diberikan dan ditafsir berbagai rupa. Ada orang tua yang seolah memberi perhatian anaknya harus dengan mencukupi berbagai fasilitas mewah yang dibutuhkan. Anak juga merasakan begitu, seolah sebelum dibelikan motor, belum lengkap perhatian orang tuanya.

Dalam memberikan fasilitas, sering tidak ditentukan oleh kelebihan materi. Saya pernah mendapatkan seorang anak yang hidup mewah di tempat kuliah, padahal orang tuanya menjual buah pisang. Ada orang tua yang kaya, namun hanya memberi anak ala kadarnya. Seorang anak yang saya kenal sejak kuliah, memiliki orang tua yang kaya dan bijaksana, tidak pernah menggugat ayahnya yang memberinya fasilitas biasa-biasa saja.

Semua itu, pada prinsipnya adalah perhatian. Komunikasi yang menjadikan fasilitas sederhana tetapi terkesan penuh perhatian dari orang tuanya. Semangat inilah yang harus dibangun dan ditebarkan. Tidak memaksakan kehendak untuk hal yang tidak mampu dipenuhi oleh orang tuanya. Pun jika mampu memenuhi, tetapkan tidak meminta berbagai fasilitas yang tidak dibutuhkan. Percayalah fasilitas tidak selalu mencerminkan bagaimana perhatian orang tua terhadap anak.

Masing-masing orang tua juga memiliki cara dalam memberi perhatian itu terhadap anaknya. Almarhum orang tua saya, termasuk salah seorang yang sangat gelisah dengan anaknya. Bagi saya, yang demikian cermin dari bagaimana perhatiannya terhadap saya.

Ketika setiap minggu pulang ke kampung, dengan urusan yang tidak diperkirakan, seringkali menanyakan berbagai hal –yang kemudian terasa dan mengalami kegelisahannya. Sejak sedikit aktif dalam lembaga mahasiswa yang membantu melakukan advokasi hak asasi manusia, kegelisahan itu kian terasa. Seringkali dalam tas ransel tidak hanya ada beberapa buku. Di dalamnya selalu saja ada dua tiga kaos dengan satu pakaian ganti. Pergi tidak tentu waktu, pulang hanya beberapa hari saja. Karena tinggal di asrama mahasiswa, pertanyaan mengenai kemana dan untuk apa, jarang muncul dari teman-teman. Waktu itu, pada saat yang sama, banyak penghuni asrama mahasiswa, juga memiliki aktivitas yang tidak jauh berbeda. Mereka rata-rata aktif di organisasi mahasiswa dan organisasi lainnya. Rasanya waktu itu malu bila tidak aktif dalam organisasi. Tidak hanya soal aktif, sepertinya ini terkait dengan keseyogiaan keterlibatan untuk membantu orang banyak, waktu itu.

Ketika kegiatan mahasiswa sedang gegap gempita dengan berbagai aktivitas, saya disadarkan oleh seorang senior. Ia ketika selesai kuliah pulang kampung dan berjualan di pinggir jalan. Dengan warung seadanya, ia mulai beraktivitas sejak habis subuh. Ketika sedang gencar-gencarnya ke lapangan, ia mengingatkan satu hal. Silakan melakukan apapun, tetapi sekiranya itu akan berimplikasi ke orang lain, jangan meninggalkan mereka sendirian. Maka sejak saat itu, kata-katanya bisa dipegang. Melakukan sesuatu, tetapi tidak meninggalkannya begitu saja. Jejak harus bersisa. Jangan setelah melakukan hal yang di luar kemampuan orang memikulnya, lalu meninggalkannya begitu saja.

Orang-orang yang menjadi golongan baru bermunculan dengan berbagai bentuknya. Ketika disebut aktivis, banyak orang merasa senang. Dengan alasan ini pula, waktu bepergian bertambah. Disela-sela ada waktu pulang kampung sebentar menjenguk orang tua, mereka ada bertanya-tanya. Barangkali ada harapan bahwa kuliah jangan berjalan seadanya. Di kalangan mahasiswa sendiri, posisi aktivis dianggap berjasa.

Dalam kamus bahasa, yang disebut aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Hal lain yang disebut aktivis adalah seseorang atau mereka yang menggerakkan (demonstrasi dsb).

Orang-orang yang disebut aktivis, memiliki tanggung jawab di dalam komunitasnya. Hal ini harus disadari betul. Bisa jadi orang lain menganggap kalangan ini sebagai berjasa. Tetapi bagi aktivis, berbuat sama sekali bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Hakikatnya adalah selalu berpihak pada orang yang membutuhkan pembelaan.

Ketika teringat apa yang terjadi setelah 1999, para aktivis sepertinya lebih harus merenung lagi. Kita ingin memihak kepada setiap luka dan setiap derita. Semangat aktivis, sampai kapan pun, tidak boleh berpaling dari keberpihakan dari setiap luka dan setiap derita itu. Percayakah?

Leave a Comment