Positivisasi Moral

Ada hal menarik disampaikan seorang akademisi hukum, Anthon F. Susanto, dalam bukunya Hukum dari Consilience menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif. Pemikirannya disampaikan terkait bagaimana posisi hukum dan moral, yang kerap menjadi diskursus di ranah ilmu hukum. …

Ada hal menarik disampaikan seorang akademisi hukum, Anthon F. Susanto, dalam bukunya Hukum dari Consilience menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif. Pemikirannya disampaikan terkait bagaimana posisi hukum dan moral, yang kerap menjadi diskursus di ranah ilmu hukum. Diskursus ini sendiri muncul berdasarkan perkembangan yang terjadi dalam perjalanan masing-masing aliran hukum. Posisi aliran –atau mazhab—dalam suatu diskursus keilmuan, tercermin dari bagaimana perkembangan dunianya terjadi. Bagaimana pun, suatu mazhab tidak mungkin dilepaskan dari berbagai kondisi sosial-politik-budaya-ekonomi yang terjadi di sekelilingnya.

Anthon F. Susanto menyebutkan, untuk lebih memahami hubungan hukum dan moral (umumnya banyak ditemukan dalam Filsafat Hukum) paling tidak ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain, sebab hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum buatan manusia (hukum positif). Kedua, hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab masing-masing memiliki wilayah keberlakuannya sendiri, meskipun sebagai hukum yang lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuan hukum positif, dimana hukum positif mengatur perbuatan lahir dan hukum moral mengatur perbuatan batin. Ketiga, hukum dan moralitas masing-masing memiliki otonomi ruang lingkup yang ekslusif.

Saya menyebut aliran atau mazhab, disebabkan tidak semua aliran menerima moral sebagai bagian dari ranah keilmuan hukum. Menerima atau tidaknya itu sendiri, dapat dipahami sebagai diskursus dalam ranah yang lain. Bagaimana hukum menyikapi moral, lalu dapat dilihat bagaimana perkembangan keilmuan hukum dalam memosisikan moral.

Anthon F. Susanto menyebutkan moral yang dipositifkan sebagai jalan keluar yang ditawarkan kaum positivisme hukum, sebagai bentuk penolakan terhadap konsep-konsep penting dari pemikiran hukum alam –yang didalamnya bermuatan antara lain pada moral (Susanto, 2007).

Sesungguhnya bagaimana hubungan hukum dan moral ini sendiri sudah diperbincangkan lama. Bisa ditelusuri, misalnya dalam satu artikel Haryatmoko di dalam Kompas, yang memetakan hukum dan moral dalam masyarakat yang majemuk. Menurutnya, sebagai dua kutup, tarik-menarik nyata terjadi. Ia melukiskan dua kutup itu. Prinsip “yang legal belum tentu moral” biasanya menjadi pegangan pakar hukum untuk membongkar argumen hukum. Sedangkan pada kutup lain, paham positivisme hukum tidak menerima begitu saja prinsip itu, karena mereka mau menjamin kepastian hukum. Namun argumen kepastian hukum sering disalahgunakan oleh mereka yang kuat. Sedangkan hukum kodrat dan bentuk-bentuk pendekatan moral lainnya lebih memberi prioritas pada rasa keadilan. Pendekatan semacam itu dituduh tidak menjamin kepastian hukum (Haryatmoko, 2001).

Pola relasi sendiri menurut Haryatmoko, antara lain dapat dilihat melalui: moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum –jiwa hukum. Hubungan moral sebagai jiwa hukum dapat dilihat dalam tiga pola, yakni: Pertama, moral  dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum positif. Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku,  sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah kekuatan dan kekuasaan –tempat dimana dibangun realitas moral (kekuatan politik, birokrasi, institusi, sumber ekonomi). Ketiga, pola voluntarisme moral, dimana di satu pihak hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna, di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi dalam hukum dan politik (Haryatmoko, 2001).

Leave a Comment