Masa lalu, sudah diingatkan betapa perang dan konflik itu begitu mengerikan. Apakah semua sudah berakhir? Ternyata belum. PBB menghadapi berbagai implikasi dari konflik di seluruh dunia. Setelah terjadinya konflik dan perang, tak kalah besar energi yang dibutuhkan untuk memulihkannya. Secara fisik, memulihkannya bisa lebih cepat. Dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, prosesnya bisa lebih cepat dari era lalu sebelum mapan teknologi.
Ada satu hal yang tidak semua memperhatikannya secara maksimal, pada luka batin. Seorang anak yang mengalami dan menyaksikan bagaimana perang dan konflik berlangsung, akan membuat batinnya terguncang. Berbagai yang dilihat tidak mudah terhapus dari ingatannya. Belum lagi sekiranya anak-anak melihat perlakuan orang dewasa terhadap orang-orang yang secara fisik sudah tidak berdaya.
Bukankah bisa dibayangkan, ketika ada perlakuan bengis untuk orang-orang yang mereka sayangi? Orang tua mereka yang dibunuh di depan mata anaknya. Atau mungkin tidak sekedar dibunuh, melainkan diperlakukan secara tidak manusiawi. Berbagai kegoncangan ini akan menimbulkan luka mendalam dan sulit untuk disembuhkan. Mereka membutuhan pendekatan yang optimal.
Untuk hal-hal yang tidak diselesaikan, goncangan lain akan muncul pada waktu yang lain. Seperti orang-orang yang menanam bara dalam sekam. Orang-orang yang melihat perlakukan terhadap orang-orang tersayang, lalu penyelesaikan tidak dilakukan secara optimal, maka hanya tinggal tunggu ada penyulut sumbu. Makanya masyarakat korban konflik membutuhkan pendekatan khusus.
Selain masalah konflik, ada hal lain yang tidak kalah mengerikan. Sebuah berita yang saya baca di Serambi Indonesia edisi 12 Maret 2017, memperlihatkan kengerian itu. Krisis kemanusiaan dalam berbagai bentuk justru sedang terjadi pada abad ke-21 ini. Dunia sedang terancam oleh kelaparan. Lebih dari 20 juta manusia di sejumlah tempat sedang menderita kelaparan dan kekurangan pangan. Ada sejumlah 1,4 juta anak terancam mati karena kelaparan itu.
Kawasan yang terancam kelaparan, sebagian besar berada di negara yang sedang berkembang. Hanya sedikit sekali kasus demikian terjadi di wilayah maju. Kenyataan lain adalah ketimpangan, dimana negara berkembang bergelut untuk mencukupkan makanan, sedangkan di negara maju justru bergelut untuk mencari makanan yang akan dijadikan simpanan sebagai pengaman. Bukankah jauh sekali perbedaannya? Bahkan apa yang disimpan di negara maju tersebut, ketika sudah waktunya harus dikeluarkan, yang sudah busuk atau tidak bisa dipakai, melebihi dari kebutuhan mereka yang lapar di negara berkembang.
Siapa yang peduli dengan kondisi demikian? Apalagi salah satu ciri dari negara berkembang adalah pada ketergantungan sebagian besar kebutuhan pada negara maju. Bahkan untuk mengambil sumber daya alam yang ada di dalam perut buminya, harus dilakukan dengan menggunakan sumber daya dari negara maju. Tidak cukup sampai di situ, hasilnya kadangkala yang disisakan untuk negara yang punya sumber daya, sedikit saja, tidak sebanding bagian untuk mereka. Kondisi ini turut memperparah kondisi dan posisi negara yang berkembang.
Dengan demikian, ancaman kelaparan turut ditentukan oleh banyak hal. Krisis disebabkan oleh berbagai faktor. Perang dan konflik salah satunya. Ditambah berbagai keadaan iklim yang sudah berubah sedemikian rupa. Kekurangan air menjadi hal lain yang dihadapi berbagai wilayah di dunia. ada 6,2 juta orang terpapar karena kekurangan air di Afrika. Di sejumlah negara, ketersediaan air sangat minim, yang berimplikasi kepada banyak hal lainnya. Kesehatan memburuk. Sedangkan di wilayah lain, yang tampak sebaliknya.