Pura-pura Baik dan Baik Pura-pura

Dalam seminggu ini, ada dua berita kecil yang bisa jadi tidak semua orang membacanya. Penjaga rumah yang melakukan kejahatan (Serambi, 4/9/2019), dan tren kejahatan yang menimpa generasi milenial semakin meningkat (Serambi, 5/9/2019). Ada satu kesamaan …

Dalam seminggu ini, ada dua berita kecil yang bisa jadi tidak semua orang membacanya. Penjaga rumah yang melakukan kejahatan (Serambi, 4/9/2019), dan tren kejahatan yang menimpa generasi milenial semakin meningkat (Serambi, 5/9/2019). Ada satu kesamaan dari dua berita ini, bahwa pelaku kejahatan, sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu memperlihat sikap yang pura-pura baik.

Kejahatan yang dilakukan penjaga rumah, cermin dari betapa orang yang dipercaya bisa melakukan kejahatan terhadap orang yang selama ini membiayai sebagian kebutuhan hidupnya. Posisi ini bisa digeser dan dilihat lebih luas dengan motif pura-pura baik, misalnya pencurian yang dilakukan oleh pelaku yang sudah mengenal persis rumah incarannya.

Pola ini yang juga dilakukan terhadap generasi milenial. Ada sifat positif dari generasi ini, adalah cepat mempercayai orang yang terkesan baik. Pemilik motor dengan mudah mempercayai peminjam, padahal mereka baru saling kenal. Mereka duduk berjam-jam dan saling ngobrol entah apa padahal orang di sampingnya tidak diketahui siapa sebenarnya.

Motif pura-pura baik, dengan mudah mengelabui para korban. Sudah banyak kasus, dimana orang-orang yang melakukan kejahatan, namun diawali dengan perilaku yang seolah-olah ingin berbuat baik. Jika ingin disederhanakan, keadaan demikian adalah sebagai kejahatan yang didahului dengan perilaku baik.

Sebenarnya “kejahatan” dan “perbuatan baik” adalah sesuatu yang bertolak belakang. Kejahatan merupakan perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, atau perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, asal kata “kejahatan” adalah “jahat”, yang berarti sangat jelek, buruk, sangat tidak baik, terkait dengan kelakuan, tabiat, dan perbuatan. Sedangkan “perbuatan baik” adalah sesuatu yang diperbuat atau dilakukan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.

Kata pura-pura baik sangat mirip dengan posisi ingin “membantu”, atau upaya untuk memberikan pertolongan bagi orang lain yang membutuhkan. Kata membantu seyogianya berimplikasi kepada perbuatan baik. Kesan ini yang kemudian diputar-putar. Pura-pura baik, dan baiknya pura-pura. Baik, kok pura-pura? Tetapi itulah yang terjadi.

Dengan konsep demikian, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana bisa kejahatan dapat bergabung dengan kesan perbuatan baik?

Bagi orang yang belajar hukum dan ilmu hukum, suasana ini di satu sisi dapat dipahami, walau di sisi lain, seharusnya tidak boleh terjadi. Ada hukum yang menjamin semua problematika kehidupan. Tidak ada masyarakat yang tanpa hukum. Relasi ini pernah diingatkan seorang seorang filsuf, Cicero, dengan kata-kata, ubi societas ibi ius-di mana ada masyarakat di sana ada hukum.

Belajar pada kasus

Dalam masyarakat yang baik, seharusnya hukum menjamin dari perilaku orang yang jahat walau berpura-pura baik. Hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat, memainkan peran dalam proses pencapaian realitas yang baik itu, bukan yang pura-pura baik. Dilahirkanlah tatanan, baik melalui konsensus secara emansipatif (lewat proses yang buttom up), maupun lewat proses top down menetes dari puncak kekuasaan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup di luar tatanan. Manusia membentuk hukum sebagai wajah dari tatanan tersebut. Namun semakin hari, konstruksi tatanan semakin ketat terkait dengan kebutuhan yang juga meningkat. Pada saat yang sama, perlawanan terhadap tatanan juga berlangsung. Perlawanan tersebut tidak saja melalui wujud kejahatan. Untuk jenis kasus tertentu, perlawanan juga bisa berlangsung dengan memanipulasi tatanan yang sudah ada.

Kasus di atas, memperlihatkan niat buruk yang diawali dengan perilaku baik, bisa menimpa pada orang yang baru saling kenal. Namun tidak sedikit, kasus terjadi dan dilakukan oleh orang dekat. Orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan dari korban, menjadi pihak yang melakukan kejahatan.

Seperti kata pepatah, “pagar makan tanaman”. Pelaku kejahatan dengan berbagai bentuk, sudah banyak dilakukan orang yang seharusnya menjaga korban. Orang dekat yang memerkosa. Penjaga rumah yang mencuri. Pembantu rumah tangga yang membawa lari anak majikan.

Kejahatan tersebut berlaku dalam suasana saling percaya antara pelaku dan korban. Orang yang dipercaya, diyakini tidak akan melakukan hal-hal yang sebaliknya. Bisa disebut dengan istilah kejahatan dari orang dekat.

Tatatan di atas, bukan berarti tidak bisa dimanipulasi. Dalam hal ini, hukum sebagai salah satu wujud tatanan, digunakan untuk melancarkan keserakahan manusia. Hukum dipakai untuk melegitimasi persekongkolan dan permufakatan jahat. Orang-orang dengan penampilan menarik dan berwajah lugu, menjadi terhukum karena jatah ilegal, persen proyek, atau menerima suap.

Kejahatan tetap kejahatan

Kondisi ini mengingatkan pada satu tesa lama yang diungkapkan oleh Lambroso, kurang lebih setengah abad yang lalu. Secara sederhana, ia mengaitkan fisik manusia dengan kejahatan. Orang yang memiliki fisik tertentu, berkemungkinan melakukan kejahatan kepada orang lainnya.

Tesa ini dalam waktu yang lama diterima banyak pihak-termasuk pembelajar hukum dan kriminologi. Sehingga orang-orang yang mengetahui tesa ini, akan menjaga jarak dengan orang yang memiliki fisik seperti yang digambarkan.

Masalahnya realitas kemudian berubah. Kejahatan tidak selalu lahir dari orang berwajah sangar. Karena kejahatan dapat dilakukan oleh mereka yang berwajah mulus, tampan, atau cantik. Orang yang berparas lumayan, ternyata ada yang menjadi pengutil di pasar swalayan. Orang tampan, ternyata ada yang jadi pemerkosa.

Kasus pembunuhan berlatar belakang asmara, membuat mata kita terbelalak, bahwa ternyata pembunuh rata-rata dilakukan oleh mereka yang memiliki fisik menawan. Berlawanan seperti yang pernah diyakini banyak orang.

Dari segi pendidikan dan pangkat, semua kejahatan juga bisa dilakukan oleh mereka yang berpendidikan, berpangkat, dan berekonomi tinggi. Pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Kasus di tempat kita, karena dendam persaingan pacar, ada yang masih mahasiswa atau bahkan siswa yang bekerja sama membunuh temannya.

Jadi untuk masa sekarang, pandangan orang sudah berubah. Makan uang haram tidak selalu berpotensi dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki uang-sehingga lahir anggapan seolah koruptor itu melakukan korupsi karena kurang gaji. Pandangan ini sudah mulai diragukan. Betapa ternyata kejahatan itu juga semakin kompleks.

Upaya untuk melakukan kejahatan dilakukan dengan memperbarui polanya sesuai dengan perkembangan antisipasi yang juga dilakukan oleh penegak hukum. Penegak hukum semakin cerdas, pun orang baik pura-pura juga semakin kreatif.

Pada posisi ini, saya memahami bahwa hukum dan penegak hukum harus kita bantu. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri, sehingga orang baik pura-pura yang melakukan kejahatan akan semakin berpesta pora.

Leave a Comment