Refleksi dan Evaluasi Diri

Saya ingin memberi ilustrasi, tentang bagaimana keputusan penting bisa dibuat saat seseorang sedang berada di puncak. Sangat sulit orang yang sedang berada di atas angin, untuk menerima berbagai masukan orang lain. Apalagi masukan itu terkait …

Saya ingin memberi ilustrasi, tentang bagaimana keputusan penting bisa dibuat saat seseorang sedang berada di puncak. Sangat sulit orang yang sedang berada di atas angin, untuk menerima berbagai masukan orang lain. Apalagi masukan itu terkait jalan mundur beberapa langkah. Jalan mundur ini biasa dilakukan orang yang akan berefleksi atas berbagai perkembangan yang dialami. Saat sedang di puncak, orang-orang tidak cukup waktu untuk merenung dan memikir secara kritis kondisi dirinya. Pada kondisi demikian, orang-orang bijak akan menggunakan jalan pikiran orang lain terhadap perkembangan dirinya.

Saya membayangkan saat seorang guru mengingatkan saya satu nasihat yang penting. Katanya, seseorang itu akan berkesan untuk menyerahkan urusan kepada orang lain –sebagai penyambung estafet, ketika orang tersebut sedang berada pada posisi puncak. Justru tidak muncul kesan –terutama kesan yang baik—bagi seseorang yang menyerahkan estafet kepada orang lain ketika berada pada puncak masalah. Selepas itu akan banyak dicari-cari untuk mempertanggungjawabkan banyak hal.

Dengan posisi puncak, seseorang sedang berada pada fase yang masih produkif dan kreatif. Pada fase ini, diyakini seseorang sedang berada pada puncak kualitas. Dengan keimanan yang kokoh, fondasi yang teguh, maka peluang untuk menolak berbagai godaan sangat mungkin dilakukan.

Kekuatan untuk menolak jalan batil sangat penting ketika orang sedang berjaya. Posisi yang bersangkutan akan gagah ketika menolak kebatilan pada saat posisinya masih cermerlang. Posisi kebatilan atau keburukan itu sendiri pada akhirnya berpengaruh pada yang bersangkutan.

Ada tiga hal. Pertama, tampak atau tidaknya suatu jalan lurus atau jalan buruk. Kedua, menerima dengan perbuatan (melalui perilaku dan ibadah) suatu jalan yang lurus dan menolak suatu jalan yang lurus. Ketiga, kekuatan untuk menerima perbuatan yang lurus dan menolak jalan yang buruk. Ketiganya sangat penting. Seharusnya ketiga hal itu saling berkaitan dan saling menguatkan, namun dalam kenyataan tak jarang, orang yang berhasil pada hal yang satu, kadangkala gagal pada hal dua atau tiga. Demikian juga sebaliknya. Ada orang yang tidak bisa membedakan tampak atau tidaknya suatu jalan lurus atau batil, namun berani menolak baik dengan perbuatan maupun dengan kekuatan menolak dengan pernyataan dan sikap.

Orang yang tamak, bukan berarti seluruhnya tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu kabur atau tidak. Ada orang yang bahkan sangat sadar bahwa perbuatannya merupakan dosa besar, namun tetap dilakukan juga. Bahkan ketika suatu perbuatan yang buruk dilakukan dalam waktu yang lama dengan berulang-ulang, maka akan berpotensi orang tersebut tidak merasa bersalah lagi. Posisi merasa bersalah berbeda dengan pemahaman bahwa sesuatu yang dilakukan itu salah. Suatu perbuatan yang diketahui salah, namun ketika dilakukan, ada yang merasa bersalah, tetapi tidak sedikit juga yang tidak merasakan apa-apa lagi.

Orang yang mengerti, memahami, dan menyadari suatu perbuatan itu baik atau buruk, kadangkala tidak mampu diikuti melalui perbuatannya. Lurus atau buruk hanya tinggal di otak, tidak berbekas pada tataran implementasi. Untuk kategori ini, kita menyaksikan orang-orang yang memahami ilmu agama, ternyata ada juga melakukan sesuatu yang tidak bisa kita bayangkan. Ada orang yang sering berceramah, ternyata doyan menilep uang publik. Ada orang yang sering berdiri di hadapan umat, tiba-tiba digerebek dan ditemukan di tempat maksiat.

Orang-orang yang semacam itu, bahkan memiliki pemahaman lebih hebat dari awam dalam hal agama, namun tidak berdaya mengikuti (mengimplementasikan) dalam perbuatan. Kondisi ini bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal yang paling besar menjadi faktor penarik itu adalah materi –terutama yang terkait dengan pemasukan yang tidak sah. Tidak jarang bahkan ketika menerima sesuatu pun, juga menyertakan dengan hal-hal yang berbau agama.

Selain itu, ada orang yang tidak berdaya ketika ada yang lebih berkuasa melakukan kemungkaran di depan mata. Ia tahu bahwa suatu perbuatan itu buruk, namun karena yang melakukannya seseorang yang lebih berpengaruh atau lebih kuat, maka tidak berdaya untuk menolaknya. Ironisnya, jika posisi orang tersebut bukan saja tidak berani menolak dan menyampaikan kebenaran, melainkan ikut terlibat melakukannya secara bersama-sama.

Puasa seharusnya memiliki kekuatan lebih bagi kita untuk menentukan jalan buruk tidak dipilih. Momentum puasa, seseorang memiliki waktu dan kesempatan yang lebih besar dalam melakukan refleksi hidup dan kehidupan dirinya berhadapan dengan berbagai hal dalam kehidupannya itu.

Dengan momentum ini, sekali lagi, tidak saja membuat seseorang benci terhadap sesuatu yang tidak baik. Hal yang lebih penting adalah seseorang akan menjadi kekuatan penting dalam melawat semua jalan buruk.

Semua kondisi jalan buruk di atas, seyogianya mampu kita tolak. Momentum bulan penuh berkah ini seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi dan refleksi menyelu-ruh atas diri kita mengenai pengalaman kita dalam mengetahui adanya sesuatu yang buruk. Bulan ini menjadi momentum yang baik yang memberikan kekuatan dan semangat untuk menolak nafsu yang menyokong hal-hal yang buruk itu. Semoga.

Leave a Comment