Semua yang akan dilaksanakan, ada baiknya dipersiapkan sedemikian rupa. Apalagi untuk hal-hal yang sangat penting dalam hidup. Dengan mempersiapkan, sudah memahami jika di tengah perjalanan ada yang harus diubah atau diputar. Berbeda dengan orang yang tidak membuat persiapan, sesuatu bisa berubah dari maksud awal.
Ada orang yang bisa mengambil putusan pada saat genting. Memberi kesimpulan dalam sekejap. Ibarat orang yang menyusun kebutuhan anggaran, tidak dilakukan dengan satu proposal yang lengkap, setiap item kebutuhan terbaca. Lalu dengan masing-masing item akan terbayang bagaimana ia akan diwujudkan.
Kesimpulan yang cepat, bukan berarti tidak selalu bisa tepat. Namun secepat apapun, harus tetap memiliki waktu untuk berpikir. Ada jeda untuk melakukan kalkulasi. Sehingga jika ada yang terbentur, tersedia jalan alternatif lain yang sudah dipersiapkan.
Begitulah dalam hidup, rencana harus dimiliki agar semua bisa berjalan. Rencana itu tidak selalu untuk hal-hal yang sangat serius. Bahkan untuk hal yang sehari-hari dihadapi.
Salah satu makna dari rencana itu adalah maksud atau niat. Sesuatu yang diniatkan untuk dikerjakan. Sesuatu yang akan atau mau dilakukan.
Saya memiliki pengalaman, bagaimana rencana itu belum tentu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Saya menyusun agenda dan membuat janji, mulai dari jam 07.30 pagi ngopi dengan guru saya sambil ngobrol penting. Kami sudah lama tidak jumpa, tetapi sering bertukar informasi. Ia ingin jumpa darat dan saya membawa sebuah buku penting untuknya.
Kemudian jam 8 saya akan mengirimkan paket ke kantor pos. Paket ini sebenarnya tas yang terlalu mahal bila saya bayar melalui bagasi pesawat. Beberapa hari berikut, saya akan berangkat ke suatu daerah.
Seterusnya, berturut-turut jam 9 dan jam 10 ada janji ketemu kolega, untuk membahas persiapan jurnal. Kebetulan saya mengelola sebuah jurnal. Kolega saya itu, terlalu sering berjanji akan menyediakan satu artikel untuk jurnal. Saya memaksa dia untuk merealisasikannya tekad –yang boleh dibilang—janjinya itu.
Apa yang terjadi?
Ketika berangkat dari rumah jam 7, seperti biasanya di jalan lancar-lancar saja, ternyata saat itu tersendat di mana-mana. Perjalanan saya dari rumah ke kampus sekitar 9 km. Ada 5 traffic light lewat kanan, atau 6 traffic light lewat jalan utama. Sekitar 9 apabila lewat jalan alternatif.
Hari itu ada tiga persimpangan yang terjadi kecelakaan –mungkin itu yang membuat jalan jadi terasa lebih padat dari biasanya. Ketika masih di jalan, guru saya mengirim pesan agar ketemu lain kali karena jam 8 ia harus masuk kantor.
Rencana kemudian berubah. Di sekitar jalan, ada satu kantor pos kecil. Ketika jam sudah lewat angka 8, saya masuk dan mengirimkan paket lewat kantor pos itu. Namun ternyata setelah diperiksa, ada suatu gangguan dalam sistem online mereka. Saya disarankan untuk mengirimkan paket lewat kantor pos pusat, yang jaraknya sekira 15 menit perjalanan. Saya ikuti sarannya. Saya kembali berputar ke arah kota.
Lalu janji jam 9 juga harus saya ubah, dan terus bergeser janji sesudahnya. Sedikit bergeser waktu awal, berubah janji sesudahnya. Inilah yang yang saya maksudkan bahwa rencana masih bisa tidak bisa berjalan dengan berbagai sebab.
Ketika berjumpa dengan kolega, saya sampaikan rentetan apa yang saya alami dari awal. Tidak biasanya demikian. Ia bisa mengerti. Satu hal yang kemudian saya ungkapkan, ternyata bagaimana sesuatu itu tidak bisa diukur dengan rumus belaka.
Saya ingat ketika mengatakan kepada mahasiswa bahwa jadwal masuk kuliah 8 itu tidak bisa digeser, kecuali untuk alasan-alasan yang tidak memungkinkan diberikan dispensasi. Kendaraan yang bocor, misalnya.
Atas apa yang terjadi, sebenarnya ada sesuatu yang sudah diatur. Orang yang mengerti kondisi ini, selalu tidak lupa menyebut insya Allah ketika berjanji atau berencana sesuatu.