Saya putar kembali satu potongan realitas. Seorang penjual kopi sachet, yang lapaknya dengan satu meja dan sejumlah kursi, menulis dalam karton putih besar dengan spidol tinta biru, “silakan minum kopi di sini, gratis yang yang demo menuntut diadili penistaan agama“. Seorang reporter menanyakan kepada bapak ini, mengapa ia menggratiskan, padahal modal dan keuntungan yang diperolehnya dari berdagang tidak seberapa. Dengan mantap, bapak ini menjawab singkat, bahwa semua rezekinya sudah ada yang atur. Ia sangat yakin bahwa tumpuk rezeki untuk dirinya pada hari itu sudah ada. Hanya saja masing-masing menunggu lewat cara apa rezeki itu diberikan.
Jawaban demikian, bagi reporter ini sangat menarik. Reporter memiliki alasan untuk menanyakan, karena keuntungan dari menjual minuman seperti ini tidak besar. Dua kalimat kunci lain yang bisa dijawab dari bapak ini. Pertama, ia ingin tercatat pada hari itu sebagai orang yang berjuang, ketika ia merasa ada yang menghina agamanya. Kedua, hanya kontribusi demikian yang mampu ia berikan ketika berhadapan dengan seseorang yang secara politik kuat. Ia tidak memiliki kekuatan lebih, selain hanya memberi gratis sejumlah sachet kopi dari modalnya. Ia memahami, tidak mudah melawan yang disebutnya orang besar. Banyak lika-likunya. Beda dengan orang kecil, yang ketika sedang diduga saja sudah diciduk seenaknya. Orang besar, selain sulit karena kuatnya lingkaran politik, juga banyaknya pemain bayaran yang hadir di sekelilingnya.
Bapak ini, sudah berumur lebih 50 tahun. Namun wajahnya, menunjukkan lebih tua dari umurnya. Pekerja keras memang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Seperti petani di kampung-kampung yang dulu teman sekelas sekolah dasar dengan kita, wajah mereka tampak berlipat lebih tua dari kita. Kerja untuk menghidupi keluarga, melawan terik, juga kadang-kadang pikiran dihinggap dipermainkan berharga harga yang seharusnya bisa didapat maksimal. Belum lagi apa yang mereka tanam, dengan alasan tidak cukup untuk kebutuhan, diimpor. Akan tetapi mengenai harga beli dari mereka masih murah, mereka tidak akan mengerti.
Berbagai keadaan berpotensi membuat wajah orang tampak lebih tua sebelum waktunya. Seperti bapak penjaja kopi sachet di atas. Tapi ia akan puas dalam hati bahwa sekecil apapun, ia sudah berbuat. Ia merasa akan memiliki jawaban, ketika suatu waktu nanti dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang sudah dilakukannya ketika ada orang yang mempermainkan agamanya. Ketika pada posisi demikian, tidak terpikir berapa banyak ia sudah keluarkan. Akan tetapi tentu tak banyak, dengan modalnya yang hanya mungkin 50 atau 60 sachet saja. Jangan lupa, kebersahajaannya juga sangat penting. Ia mengangkut satu meja dengan beberapa kursi yang mendukung apa yang ingin disumbangkannya pada hari itu. Untuk usaha yang demikian, saya pribadi merasa malu karena jauh dibandingkan apa yang ia lakukan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.