Sebuah pertanyaan dasar tentang apa yang disebut sebagai negarawan itu, selalu mendapat momentum untuk dipertanyakan. Saya ingin melihatnya dalam dua sisi. Sisi normatif yang sangat penting dalam mendudukkan bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang hal ini. Sisi realitas, yang memperlihatkan apakah hal yang dibayangkan sebagai negarawan itu masih ada dalam kenyataan?
Melalui satu platform, saya menelusuri kata negarawan itu. Eclis.id. Ruang ini, sesungguhnya dikembangkan para akademisi dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim. Beberapa kali saya jumpa dengannya. Akhir-akhir, ia menjabat sebagai dekan fakultas hukum. Ketika saya mengelola berkala Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, kami mendapat kesempatan bertukar pengetahuan waktu itu.
Ruang ini, menemukan 16 tempat untuk kata “negarawan”. Namun sejumlah aturan teknis tidak lagi disebutkan. Berdasarkan gambaran tersebut, saya kemudian menelusuri satu persatu untuk memastikan apa yang disebut dalam peraturan perundang-undangan. Mulai dari Pasal 24C ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang hakim konstitusi, menyebutkan bahwa “hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Pasal yang membahas tentang MK, diubah pada periode keempat amandemen, yang berlangsung dari tahun 1999, dan berakhir pada 2002.
Kata “negarawan” kemudian ditindaklanjuti oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan syarat hakim konstitusi adalah (a) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (b) adil; dan (c) negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Secara internal, ada kode etik dan perilaku hakim yang diatur. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/Pmk/2005 Tahun 2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, dalam konsiderans menimbang menyebutkan bahwa hakim hakim konstitusi sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Dalam peraturan yang lebih teknis, yakni Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2016 tentang Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (dalam Pasal 2) menyebutkan tugas Lemhanas adalah membantu presiden dalam (a) menyelenggarakan pendidikan penyiapan kader dan pemantapan pimpinan tingkat nasional yang berpikir komprehensif, integral, holistik, integratif dan profesional, memiliki watak, moral dan etika kebangsaan, negarawan, berwawasan nusantara serta mempunyai cakrawala pandang yang universal.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “negarawan” sebagai ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas Menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Dibandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang lebih tajam, peraturan perundang-undangan tidak memberi ukuran secara tegas apa yang disebut sebagai negarawan. Makna lebih luas, antara lain ditemukan dalam artikel ilmiah, yang menyebutkan bahwa negarawan dalam sisi gramatikal dimaksudkan untuk orang yang memiliki intelektualitas dan kompetensi beracara dalam penyelenggara negara, serta menjalankan kewajiban sentral untuk mengawasi kehidupan negara sesuai konstitusi. Terkait dengan hal ini, komparasi moralitas negarawan dan individu didasarkan pada hukum yang berlaku dan standarisasi yang sama. Ada timbangan batin yang selalu dioperasionalkan. Apa yang disebut resiliensi ketika seseorang bertindak layaknya sebagai pejabat publik, semuanya mempertimbangkan keselamatan bangsa (Lestari, 2023). Merujuk pada Hamka, negarawan adalah individu yang berjiwa nasionalis dan patriotis, yang selaras dengan prinsip dasar Islam al-amru bi al-ma‘rūf wa an-nahyu ʻan al-munkar (Faozi, Iqbal, & Baskoro, 2021).
Lalu apakah individu yang semacam ini ditemukan saat hiruk pikuk “Peringatan Darurat” muncul? Ketika orang-orang yang berada di lembaga martabat, justru sedang menghancurkan martabat dengan sehancur-hancurnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.