Pertanyaan dasarnya adalah, kita menunggu diminta maaf atau kita yang akan meminta maaf? Orang yang arif tidak mengenal kelas. Misalnya mereka yang jabatannya lebih tinggi lebih menunggu mereka yang berpangkat rendah. Orang yang memiliki gelar lebih hebat dan panjang, menunggu permohonan maaf dari mereka yang miskin gelar. Orang yang secara ekonomi dan politik lebih mapan, lebih menunggu.
Semua itu keliru. Permohonan maaf tidak tergantung kelas. Jika kita sadar bahwa setiap saat bisa saja membuat dosa dan mendhalimi orang lain, maka minta maaf bukanlah satu hal yang merendahkan. Orang-orang yang menyorong tangannya terlebih dahulu, sesungguhnya adalah orang hebat. Bukan sebaliknya, mereka yang menunggu disodorkan tangan baru menyodorkan.
Sekali lagi, ia tidak ditentukan oleh kelas. Orang-orang yang arif akan maju terlebih dahulu dan berani mempertaruhkan semua yang duniawinya untuk meminta maaf. Tidak takut jadi tidak populer karena berani meminta maaf terlebih dahulu. Untuk meminta maaf, seharusnya tidak ada rumus gengsi dan semacamnya.
Jadi, apa yang lebih tangguh selain keberanian orang untuk meminta maaf? Bagi sebagian pihak, hal demikian sangat berat untuk dilakukan, oleh siapapun. Maka siapapun yang berani melakukannya, akan mendapat ganjaran berlipat ganda. Ada balasan yang luar biasa disediakan untuk orang yang mampu melakukannya.
Di pihak lain, orang yang menerima permintaan maaf pun bukan sesuatu yang mudah. Untuk memaafkan saja butuh kekuatan tersendiri. Tidak mudah meminta maaf, serta tidak mudah memaafkan, merupakan perilaku yang tidak terpuji. Seorang manusia tidak mungkin lepas dari salah dan lupa. Seyogianya meminta maaf dan memaafkan adalah sesuatu yang niscaya.
Lebih jauh, orang-orang yang terlibat dalam proses maaf-memaafkan juga akan mendapat balasan tersendiri. Saya kira untuk orang-orang yang mendamaikan orang lain, akan mendapat fasilitas istimewa kelak.
Begitulah ketika berbicara mengenai mendamaikan. Orang akan merasakan kehilangan ketika sudah tidak ada lagi di sampingnya. Salah satu hal yang penting dalam hidup adalah hubungan silaturrahim. Terkait dengan silaturrahim dalam konteks idul fitri, saling menghalalkan antar sesama.
Ketika idul fitri tahun lalu, pada hari ketiga Syawal, sejumlah orang menginisiasi dilaksanakannya halal bi halal. Acara ini dilaksanakan bergabung seluruh elemen masyarakat. Acara juga dibarengi dengan pembukaan pengajian tingkat kecamatan yang akan berlangsung setiap bulan. Sebenarnya setiap kampung masing-masing juga dilaksanakan pengajian. Jumlah orang yang hadir biasanya tak terlalu ramai. Mungkin bisa dihitung jari. Berbeda dengan kegiatan lain, yang diikuti banyak orang. Bahkan untuk pengajian, perlu ada pengumuman tambahan dari pemuda agar warung-warung menutup televisi selama berlangsung pengajian. Selama pengajian berlangsung, orang-orang juga banyak yang duduk di warung, walau minus tontonan televisi.
Kita tidak mengerti apa yang menyebabkan orang yang lebih memilih warung ketimbang nimbrung dalam pengajian. Tentu ada alasan tertentu, semacam tarikan magnit tertentu yang mana orang yang bersangkutan seperti tidak bisa memilih untuk tidak duduk bersantai-santai di warung. Fenomena ini sebenarnya sama seperti orang yang begitu selesai shalat, tidak bisa berdiam barang beberapa saat. Begitu selesai salam, langsung balik kanan –istilah lokal di sini. Khusus di kampung, biasanya orang tua akan menegur orang-orang yang langsung keluar dari mushalla begitu shalat selesai. Ada tuntutan interaksi antara sesama masyarakat. Shalat jamaah sendiri sebenarnya sangat disunatkan –malah ada sebagian orang yang menyamakan tingkatannya dengan hukum wajib. Dalam masyarakat, ketika seseorang menunaikan shalat jamaah, tidak hanya akan menunaikan kewajiban vertikal tersebut. Shalat jamaah juga melunaskan kewajiban saling berinteraksi sesama anggota masyarakat.
Makanya dalam masyarakat kita, pelaksanaan ibadah yang berlangsung di mushalla (meunasah) selalu memiliki sisi sosial –tidak sebatas kewajiban vertikal. Hal ini sangat penting dalam hal bersosialisasi satu sama lain. Tentu saja masing-masing masyarakat memiliki konsep sendiri mengenai bersosialisasi ini, namun yang jelas, ruang paling umum digunakan adalah ruang-ruang pelaksanaan ibadah.
Malam itu, dalam halal bi halal, hal itu juga diingatkan.
Pertama, mengenai pentingnya semua orang menggapai halal dengan proses dan cara yang halal. Jangan mengejar yang halal dengan sesuatu yang tidak halal. Idul fitri, pada dasarnya momentum penting untuk menggapai halal bi halal tersebut. Orang membuka diri untuk meminta dan menerima maaf, adalah sesuatu yang sangat tinggi bagi sesama dalam mencapai halal.
Kedua, mengenai tujuan keberadaan kita yang harus memberikan sebanyak mungkin manfaat bagi alam sekitar, baik manusia, hewan, maupun alam. Setiap orang harus selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan melalui konsep memberi manfaat bagi banyak orang. Dengan konsep demikian, akan ada usaha untuk mengurangi sebanyak mungkin kerugiaan bagi banyak orang lain. Konsep terakhir ini yang sering diremehkan. Kita sering menjadi penyakit bagi orang lain, dan kita tidak peduli ketika orang merasakan sesuatu yang ganjil akibat dari keberadaan kita.
Mencapai kebahagaan demikian, sepertinya mendapat momentum penting melalui perayaan idul fitri, dengan saling menghalalkan. Saat inilah, kita harus segera mendesain dan mengukur diri untuk memberi manfaat bagi banyak orang lain.