Satu Cerita tentang Adab

Dua hari yang lalu, saya harus ke Jakarta untuk menghadiri satu pertemuan. Karena tidak bisa diwakili, maka saya anggap pertemuan ini sebagai even yang penting. Karena undangan pula, saya mendapat kesempatan naik salah satu pesawat …

Dua hari yang lalu, saya harus ke Jakarta untuk menghadiri satu pertemuan. Karena tidak bisa diwakili, maka saya anggap pertemuan ini sebagai even yang penting. Karena undangan pula, saya mendapat kesempatan naik salah satu pesawat yang dianggap tergengsi di negeri ini. Panjang ceritanya jika saya uraikan posisi tergengsi ini –tapi saya cerita sedikit nanti di bawah. Gengsi yang saya maksud, bukan pada indikator semata-mata pada mahal harga tiketnya.

Pesawat ini sudah terlanjur dianggap sebagai kelas tertinggi. Mengapa saya masalah harga bisa beda? Beberapa kali saya mendapatkan harga tiket pesawat yang lain lebih mahal dibanding pesawat ini. Pengalaman dalam dua bulan ini, saya dan istri bepergian ke sejumlah tempat, selalu saya gunakan pesawat yang saya ceritakan ini. Bukan apa-apa, karena dari harga melalui penjualan online, pesawat ini yang termasuk rendah dan terjangkau.

Soal gengsi, sedikit saya ingin sentuh. Pengalaman bepergian selama ini, bersama istri, oleh orang lain selalu dianggap kami dalam posisi banyak uang –setidaknya melebihi rata-rata dalam melakukan perjalanan. Menggunakan pesawat lainnya pun tidak jarang. Selalu berdasarkan harga dari penelusuran yang tersedia pada agen-agen online itu. Tentu jika beda harga tidak mencolok, praktis akan dipilih yang lebih melayani dan tepat waktu.

Tapi lupakanlah soal gengsi dan kelas tertinggi. Ada hal lain yang saya rasakan selama ini –setidaknya dari perjalanan dalam dua bulan terakhir. Saya terbiasa memilih bangku yang agak belakang. Hampir tidak pernah saya memilih bangku di urusan 1-20. Jika tersedia, saya memilih bangku di atas angka 35. Tidak ada alasan khusus untuk ini. Hanya saja, di belakang biasanya lebih nyaman untuk istirahat. Jadi bukan karena alasan lainnya. Nah, untuk bangku belakang, biasanya akan naik dan diberi prioritas diawal. Pilihan ini hanya untuk memudahkan para pengatur menata penumpang yang naik pesawat. Sangat logis, mengingat mereka yang memilih bangku belakang, jika naik lebih awal, tidak akan menyebabkan antre terlalu lama –karena mereka begitu naik langsung akan masuk ke susunan kursi belakangnya.

Dengan duduk di belakang, naik awal, tentu turunnya lebih belakangan. Ini juga sangat logis, mengingat mereka yang di depan dulu memungkinkan keluar dari pesawat dengan cepat. Pada saat menunggu inilah, saya sering melihat bagaimana adab para penumpang yang tidak semua sabar menunggu giliran turun. Seperti orang yang beribadah, sebagian justru memilih tempat yang memudahkan waktu keluar cepat. Kondisi ini sering terlihat dalam pesawat. Padahal belum tentu ada keperluan cepat –misalnya seperti orang yang ingin melanjutkan perjalanan ke destinasi lainnya. Pesawat pulang hanya berakhir di bandar udara ini.

Kadang-kadang berpikir apa yang disebut gengsi tadi, di atas, tidak selalu tercermin dari perilaku orang-orang yang berada di kelas itu. Dalam kelas-kelas kuliah, sering saya ingatkan mahasiswa, bahwa perilaku yang tidak beradab itu tidak selalu dilakukan mereka yang tidak berpendidikan, tidak bergelar, tidak mapan, atau tidak berjabatan. Perilaku itu kadang-kadang bisa saja dominan dilakukan oleh mereka yang tidak kita bayangkan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment