Melakukan revisi suatu undang-undang, dengan demikian, bukan suatu jalan yang mudah dan sederhana. Sebagian orang bisa mengatakan –atau mungkin tepatnya membandingkan dengan proses pembentukan UUPA pada tahun 2005-2006. Konteks sejarah, tentu sudah berbeda. Hiruk-pikuk saat itu dengan berbagai kondisi yang menjadi latar belakangnya, akan berbeda dengan kondisi saat ini.
Saat menyelesaikan konflik secara damai, yang secara langsung juga tidak bisa dilepaskan dari terjadinya bencana tsunami 26 Desember 2004, undang-undang ingin dijadikan alat untuk mencapai tujuan kehidupan yang lebih luas itu. Undang-undang ini sendiri juga bukan lahir dengan sendirinya. Sebelum-nya ada kesepahaman bersama yang dilahirkan (memorandum of understanding). Berbekal MoU inilah, digarap substansi dari UUPA tersebut.
Pola semacam ini, dalam dunia keilmuan, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Konsep menjadikan hukum sebagai alat untuk mengarahkan kebijakan dalam rangka menyelesaikan banyak masalah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum memiliki banyak fungsi. Hukum tidak semata-mata sebagai kaedah yang mengatur apa yang baik dan apa yang buruk semata. Hukum dapat pula berfungsi untuk memudahkan pelbagai kepentingan (MD, 1998). Salah satu kepentingan yang dimaksud, misalnya adalah upaya menyelesaikan konflik secara damai Aceh dan Jakarta yang sudah berlangsung lebih tiga dekade terakhir.
Kita bisa menyimak salah satu pertimbangan dibentuknya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, adalah “bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Secara konsep, penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa hukum bisa dikatakan sebagai alat pengubah masyarakat. Salah satu fungsi hukum disebutkan Roscoe Pound adalah as a tool of social engineering. Ada penjelasan lain, misalnya lewat tabal hukum sebagai instrumen politik, fungsi ini –sadar atau tidak—menjadi tidak terbantahkan. Konsep ini ”familiar” di Indonesia berkat Mochtar Kusuma Atmaja. Namun konsep ini dikritik, karena pendapat Pound tentang fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dilontarkan bukan atas dasar paham hukum positivistis yang memaknakan hukum (law) sebagai peraturan perundang-undangan termasuk kebijaksanaan pemerintah. Konsep hukum (law) dalam pengertian Roscoe Pound bukanlah bermakna UU (Act), atau aturan-aturan hukum lainnya yang dibuat oleh eksekutif, namun makna hukum (law) dalam pengertian law as tool of social engineering, adalah hukum yang dibuat oleh hakim atau yang lebih dikenal dengan istilah putusan hukum atau judge made law, karena hukum yang demikian diproduk oleh negara yang mempraktekkan common law system, bukan civil law system (Rahardjo, 2006).
Dengan demikian, sebagai instrumen politik, hukum itu digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan bernegara kita sudah sering melihat fungsi hukum sebagai instrumen politik. Penguasa kerap menggunakan hukum untuk mengukuhkan posisi kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan sebaliknya, hukum itu juga dapat dipakai sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan.
Kelahiran UUPA adalah salah satu produk perundang-undangan untuk menyelesaikan masalah di atas. Namun demikian, jalan menuju damai dilalui dengan konflik panjang dan tsunami. Kelahiran UUPA juga tidak bisa dilepaskan dari adanya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Dengan demikian, undang-undang dapat dikatakan lagi dari satu consensus penting. Namun demikian bukan berarti gugatan terhadap UUPA tidak ada. Setidaknya sudah ada sekitar tiga gugatan lewat Mahkamah Konstitusi, antara lain mengenai calon independen Kepala Daerah, yang oleh UU otonomi daerah lainnya sudah dibuka peluang.