Salah satu perhatian penting dari setiap konflik adalah korban. Bukan hanya konflik dalam durasi waktu tahun 1989-1998. Bahkan dalam konflik sesama anak bangsa di Aceh pun, realitasnya pernah terjadi.
Menurut Al Chaidar dkk, konflik yang pernah terjadi di Aceh dalam berbagai babakannya, telah menyebabkan jumlah korban yang tidak sedikit. Konflik internal dan konflik vertikal telah menyebabkan jatuhnya banyak korban. Realitas inilah, sungguh sesuatu yang tidak boleh dilupakan. Saat gejolak sosial pada tahun 1946 saja, telah menewaskan sekitar 1.500 orang. Kemudian dilanjutkan dengan pemberontakan DI/TII sepanjang 1953-1964, pergolakan GAM 1976 sampai ke DOM 1989-1998, semua korban konflik mencapai 35.000 orang lebih (Chaidar, Achmad, & Dinamika, 1998). Amnerty Internasional menyebut jumlah korban warga sipil yang terjebak konflik dan meninggal selama tiga dekade konflik dari 1976 hingga 2005 mencapai 10.000-30.000 jiwa (BBC, 2023).
Menghitung-hitung jumlah korban pun, bukan perkara mudah. Dari sejumlah catatan, kita akan menemukan potongan-potongan usaha untuk mencatat jumlah korban yang muncul. Belajar dari konflik Aceh, jatuhnya korban berasal dari berbagai kalangan. Tantara dan polisi. Pihak GAM. Organisasi masyarakat sipil. Tapi di luar itu, perhatian paling besar harus diberikan kepada korban yang berasal dari masyarakat biasa.
Dalam konteks penyelesaian konflik, terutama masyarakat sipil, posisi korban pun menjadi hal paling rumit yang harus diselesaikan. Proses ini yang terus-menerus dilakukan, antara lain oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh –selain ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dan ikut serta dalam hal ini.
Kontras Aceh merupakan salah satu yang sejak awal darurat militer selalu mencatat korban sipil. Kontras Aceh (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) –sebuah organisasi yang dibentuk sejumlah LSM pada 20 Maret 1998, untuk melakukan advokasi hak asasi manusia. LSM itu antara lain LP HAM, Elsam, CPSM, PIPHAM, dan AJI. LSM ini pada akhirnya tak hanya menangani korban kekerasan, melainkan semua pelanggaran hak asasi manusia. Menurut LSM ini, korban dari masyarakat sipil sejak awal mula darurat militer hingga damai mencapai 1.326 orang.
Menurut data Aceh Kita (2003), jumlah pasukan yang dilibatkan pelaksanaan operasi darurat militer mencapai 42 ribu orang, meliputi 30 ribu TNI dan 12 ribu polisi. Kekuatan GAM pada awal DM berjumlah 7.140 orang, dengan jumlah 2.516 pucuk senjata. Sedangkan menurut data Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD), jumlah GAM yang tersisa setelah DM adalah 2.186 dengan 1.680 senjata. Selain itu, sejumlah 2.003 GAM ditangkap dan 1.596 menyerah. TNI sendiri juga ada korban, yakni 147 meninggal dan 422 luka-luka. Sedangkan pada masa Darurat Sipil, sebanyak 475 meninggal, 242 tertangkap dan 484 menyerah. Jumlah korban sipil menurut data Mabes TNI mencapai 662 meninggal, 140 luka berat dan 227 luka ringan (KKR, 2023).
Jumlah data ini, diperdebatkan oleh elemen sipil, terutama untuk korban yang diklaim sebagai GAM, oleh sejumlah elemen sipil disebut sebagai warga sipil (Tempo, 2004).