Sekilas dalam kolom kemarin, saya ceritakan sekilas tentang sosok tantara progresif. Saya kira Syarifuddin Tippe menjadi satu tipikal tentara yang berbeda pada masanya. Biasanya sososk tentara di daerah konflik ditempatkan sebagai sosok yang tidak ada kompromi, justru Tippe memperlihatkan wajah lain tentara yang membuka diri untuk berdiskusi selebar mungkin. Walau dalam konteks menyelesaikan konflik, secara berjenjang, baik dalam lingkungan sipil maupun militer, tetap ditentukan oleh pimpinan tertinggi.
Sepanjang 2000 hingga 2002, kondisi keamanan di Aceh berjalan tidak stabil. Walau dengan kondisi yang kadang kala bergejolak itu, sejak 2001, saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat presiden, mulai mengusahakan adanya satu dialog bagi penyelesaian masalah Aceh. Usaha tersebut dilakukan dalam rangka menjaga agar tidak ada pihak yang menjadi korban. Pada titik kemudian muncul upaya dialog.
Presiden sampai mengirimkan Sekretaris Negara, Bondan Gunawan untuk menemui Panglima GAM, Teungku Abdullah Syafei, pada 16 Maret 2000. Berdasarkan sejumlah catatan media, ada beberapa kali Presiden Abdurrahman Wahid mengirim utusan menemui pimpinan GAM waktu itu. Tapi konflik Aceh belum bisa diselesaikan dengan baik. Titik temu belum ditemukan. Kecuali beberapa kebijakan yang lahir, dan terpenting dari semua kebijakan yang ada adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini sendiri, juga diperdebatkan sedemikian rupa baik proses maupun substansinya.
Tentu saja, semua upaya tidak ada yang sia-sia. Proses ini menjadi jalan masuk bagi pembicaraan damai, yang generasi awal dilakukan oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC) yang bermarkas di Swiss –sebuah lembaga swadaya yang didirikan untuk memberikan penghargaan kepada seorang penerima nobel perdamaian dan aktivis palang merah dari Swiss, Jean Henry Dunant. Ia menginspirasi pembentukan The International Committe of the Red Cross (ICRC) dan Kovensi Jenewa 1864 juga didasarkan pada gagasan-gagasannya (Nailufar, 2022). Peran mereka, akhirnya pada tanggal 12 Mei 2000, berhasil ditandatangi satu perjanjian bersama, Joint Understanding on Humatarian Peace for Aceh, oleh Hasan Wirajuda (Menteri Luar Negeri Republik Indonesia) dan Zaini Abdullah (Gerakan Aceh Merdeka). Perjanjian ini berlangsung selama enam bulan awal yang dikenal dengan nama Jeda Kemanusiaan (2 Juni 2000 hingga 15 Januari 2001). Pada tahap kedua, Henry Dunant Center memfasilitasi Moratorium on Violence (moratorium kekerasan) pada tanggal 15 Januari hingga 15 Februari 2001. Sampai akhirnya disepakati Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di Kota Jenewa pada tanggal 9 Desember 2002.
Perjanjian yang sudah dilaksanakan selama tiga tahun akhirnya tidak berlanjut, saat Meeting Tokyo gagal terlaksana. Seyogianya pertemuan berlangsung di Tokyo tanggal 18 Mei 2003, atas fasilitasi Pemerintah Jepang dan Amerika Serikat, dan didukung World Bank dan Internetional Monetary Fund (IMF). Pemerintah Indonesia, menerapkan Darurat Militer pada tanggal 19 Mei 2003.