Jika menelusuri proses perdamaian Aceh, keberadaan CMI tidak hanya sebatas membantu proses perundingan, melainkan mereka juga terlibat dalam proses peace-building pascakonflik (Oktaviani & Pramadya, 2017).
Permintaan kepada CMI untuk memfasilitasi perundingan diajukan oleh kedua pihak. Salah satu pertimbangannya adalah pada data keberhasilan CMI dalam menyelesaikan sejumlah konflik kekerasan di dunia (Kurniawan, 2016; Kingsbury, 2006; Husain, 2007). Pemberian tugas ini sejalan dengan hasil yang diperoleh berupa perdamaian yang dicapai termasuk bagi bangsa Indonesia (Mujiburrahman, 2018; Zulkarnaen, 2005).
Pertemuan awal perundingan dimulai tanggal 27 Februari 2005 di Finlandia. Waktu itu, delegasi Indonesia diikuti oleh A. Hamid Awaluddin, Sofyan Djalil, Farid Husain, I. Gusti Wesaka, dan Usman Basyah. Sementara mewakili GAM, antara lain Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M. Nur Djuli, Nurdin Abdur Rahman, dan Bakhtiar Abdullah. Hingga diteken perjanjian, 15 Agustus 2005, telah dilakukan lima kali putaran pertemuan. Sejumlah kesepakatan menyangkut penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, hak asasi manusia, amnesti, reintegrasi GAM, pengaturan keamanan, pengaturan misi monitoring, dan penyelesaian perselisihan. Poin-poin ini kemudian dirumuskan dalam MoU dan seterusnya disusun dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Pilihan dialog dalam menyelesaikan konflik Aceh bukan tanpa alasan. Kebijakan untuk Aceh sebelumnya telah digunakan pendekatan darurat militer yang ternyata tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh (Pratiwi, 2019; Sahlan, 2013).
Bencana tsunami telah menjadi momentum untuk mengakhiri konflik di Aceh –yang telah berlangsung lebih tiga dekade. Namun demikian dalam perjalanan panjang tersebut, bukan tidak ada upaya penyelesaian secara damai. Namun dialog yang direncanakan selalu kandas di tengah jalan.
Begitulah pilihan dialog, dengan saling menerima sejumlah konsensus, hingga perjanjian damai diteken tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki.
Selain menerima otonomi khusus, hal lain yang disepekati adalah mengeluarkan tentara nonorganik dari Aceh. Kemudian untuk memantau jalannya perdamaian, para pihak juga menyepakati menempatkan 300 anggota Aceh Monitoring Mission (AMM), yang secara formal tugas mereka berakhir pada 15 Desember 2006.
Selain itu, bagi GAM, dilakukan pelucutan senjata dengan cara dipotong di sejumlah tempat yang telah ditentukan. Sebanyak 840 pucuk senjata diserahkan GAM kepada AMM untuk dipotong.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut, tentu saja bukan jalan mudah. Proses mempersiapkan dan saling memberi kepercayaan sangat penting dan strategis, sehingga kedua pihak secara bulat menerima dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.