Sepasang Cerita dari Atu Lintang

Saya sudah terlibat dalam kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) sejak tahun 2010. Waktu itu, skema pelaksanaan KKN masih berbeda. Kini, berbagai perkembangan juga terjadi. Termasuk bagaimana pelaksanaan berbagai kegiatan yang bisa diklaim dan pengakuan dengan …

Saya sudah terlibat dalam kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) sejak tahun 2010. Waktu itu, skema pelaksanaan KKN masih berbeda. Kini, berbagai perkembangan juga terjadi. Termasuk bagaimana pelaksanaan berbagai kegiatan yang bisa diklaim dan pengakuan dengan nilai KKN. Sejumlah kampus kemudian mengunci bahwa berbagai kegiatan bisa saja diklaim dengan nilai KKN, namun harus memenuhi unsur filosofi KKN yakni berada dalam masyarakat. Sebab pengalaman saya, tidak sedikit yang diklaim itu justru jauh dari kegiatan pengabdian yang menjadi filosofi penting dari KKN ini. Dengan skema merdeka belajar, seolah menjadi momentum bahwa semua hal bisa dikonversi nilainya.

Sejumlah kegiatan terkait mulai berlaku rumus konversi. Orang-orang yang mempermasalahkan substansi, akan digolongkan sebagai orang-orang yang sulit diajak kompromi. Lebih fatal, ditempatkan sebagai orang yang tidak mengerti masalah. Orang-orang yang mempermasalahkan bagaimana sistem kredit semester (SKS) yang idealnya harus ditilik secara hati-hati karena menyangkut tujuan pendidikan masing-masing bidang. Seorang dokter yang butuh teoritis tertentu, tidak bisa digantikan dengan kegiatan lapangan apapun. Seorang sarjana hukum butuh teoritis hukum, idealnya tidak diganti dengan praktik lapangan total. Hendaknya kepentingan keilmuan semacam ini harus diperhatikan. Tidak hanya berorientasi pada indeks kinerja dan melepas diri dari berbagai tuntutan standar minimal dari proses pendidikan yang dilaksanakan.

KKN idealnya akan melewati berbagai proses dan filosofi pelaksanaannya. Ada wajah pengabdiannya. Jangan tiba-tiba sudah muncul pengakuan nilai KKN, sedangkan kegiatan tidak berkaitan dengan masyarakat. Kita harus berusaha memahami bagaimana KKN itu dibangun oleh para pemikir kampus. Mengoperasional teori dan kemampuan keilmuan dalam ruang sosial sebagai medan pengabdian. Menjangkau realitas yang ada di hadapan mata, dengan berbagai kemampuan keilmuan yang biasanya berposisi sebagai harapan. Pemaduan ini yang harus dilakoni sebagai bagian dari jumlah SKS utuh saat menyelesaikan pendidikan sarjana. Jika salah satu standar minimal dari yang sudah dipikirkan sebagai standar keilmuan tidak terpenuhi, maka akan ada sesuatu yang kurang dari kita yang akan mencapai sarjana.

Pengabdian itu menjadi bagian penting dari kampus. Kita mengenal tri darma. Bukan hanya sebagai hiasan tuntutan itu. Berbagai bentuk pengabdian dilaksanakan. Salah satu yang paling konkret adalah pelaksanaan KKN. Idealnya, pelaksanaan KKN dapat menjangkau banyak kawasan di tempat kampus berpacak. Apa yang dipelajari itu hendaknya akan sampai hingga ke ujung kampung. Tidak hanya ilmu itu berputar-putar di menaranya. Nah, jika ini tidak terlaksana atau digantikan dengan cara yang memudah-mudahkan, filosofi yang tadi itu tidak tercapai. Bukan untuk menyulitkan, karena filosofi dari keberadaan sebuah perguruan tinggi tetap harus dijaga. Jangan kita biarkan keinginan pada pemikir pendidikan sebelumnya berlalu dan hilang bersama awan. Jangan pula dianggap seolah apa yang dipikirkan orang terdahulu sebagai ketinggalan zaman. Tega sekali kita.

Tanggal 11 Februari 2021, saya melakukan monitoring KKN Universitas Syiah Kuala di Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah. Hingga 2021, saya dalam sejumlah kesempatan mendapat tugas di daerah yang jauh dari keramaian. Jauh dari kota. Selama ditugaskan itu pun, saya tidak menolak dan tidak protes. Saya merasakannya sebagai tugas dan kewajiban yang mesti saya emban. Lokasi lain yang pernah saya monitoring, antara lain Tenggulun, Aceh Tamiang –yang berbatasan dengan Sumatra Utara di sebelah Timur dan sebelah Selatan dengan Kabupaten Gayo Lues. Di samping itu ada lokasi di Kluet Utara, Aceh Selatan. Semua lokasi itu pada dasarnya tempat kita memotret diri. Jangan-jangan keadaan di kampung-kampung sebagai cermin dari ketidakberdayaan lembaga-lembaga pendidikan kita.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

[es-te, Selasa, 13 September 2022]

Leave a Comment