Sepi Peminat

Publik harus selalu diingatkan bahwa perjanjian damai sangat penting karena ia merupakan sebuah titik temu untuk mengakhiri perjalanan bangsa yang berdarah-darah. Ia menjadi titik tekad dimana penghinaan terhadap manusia dan peradabannya harus dihentikan. Titik temu …

Publik harus selalu diingatkan bahwa perjanjian damai sangat penting karena ia merupakan sebuah titik temu untuk mengakhiri perjalanan bangsa yang berdarah-darah. Ia menjadi titik tekad dimana penghinaan terhadap manusia dan peradabannya harus dihentikan.

Titik temu tersebut dapat dilihat dalam wujud kemauan masing-masing pihak untuk mundur selangkah. Di satu pihak, keinginan memisahkan diri Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dikuburkan. Di pihak lain, Pemerintah memberikan kewenangan yang besar bagi Aceh untuk mengurus dirinya. Pasal 7 UUPA menyebutkan, Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Saya kira konsiderans UUPA jelas terbaca uraian upaya menyelesaikan konflik. Di satu sisi menyebut bagaimana konflik itu berhasil dihentikan dengan perdamaian. Di sisi lain, peristiwa tsunami juga tidak boleh diabai mempengaruhi keputusan kedua pihak untuk sepakat berdamai.

Momentum ini yang ingin saya ingatkan kembali. Sejumlah opini yang pernah saya tulis, mengingatkan bahwa UUPA itu bukan undang-undang biasa. Ia harus dilihat dalam konteks yang luas, sebagai kompensasi dari kesepakatan menghentikan konflik menuju perdamaian (“Sewindu UUPA”, Serambi, 12/8/2014; “Pertaruhan UUPA, Serambi, 27/2/2020).

Masalahnya adalah hiruk pikuk perayaan damai dan momentuk merefleksikan UUPA, terkesan semakin menurun. Entah kenapa? UUPA seperti sudah kurang menarik. Kondisi ini kadang-kadang menyebabkan pertanyaan serius, masih pentingkah UUPA bagi Aceh?

Pada awal Agustus 2016, pernah kami gagas proses penerbitan buku, dalam rangka sebelas tahun UUPA. Buku tersebut saya gagas bersama sejumlah teman. Bahkan penerbitan buku ini sendiri didahului dengan seminar nasional yang dilaksanakan di kampus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, sebagai refleksi sekaligus membahas perkembangan UUPA dan otonomi khusus Aceh. Pelaksanaan seminar itu sendiri selain dengan patungan para peserta, sejumlah fasilitas dibantu Ikatan Alumni Fakultas Hukum. Waktu itu, seminar nasional sepi peminat. Peserta yang hadir sekitar 50 orang saja. Esoknya harinya, Harian Serambi Indonesia menaikkannya dalam tiga berita cetak, sekitar seperempat halaman koran (“Beberapa Ketentuan UUPA Masih Terhambat” Serambi, 16/8/2016).

Kini suasana Agustus seperti sepi peminat. Seorang kolega yang mengingatkan seminar nasional itu melalui media sosial, sepi peminat dan komentar. Dalam satu grup WhatsApp (WA), yang khusus tentang UUPA, pun kesannya juga sepi. Belum lagi ada sejumlah grup WA yang sudah mulai tidak ada respons saat isu UUPA ini dibuka. Hal ini tentu tidak bisa menjadi indikator tunggal untuk melihat bagaimana perhatian publik terhadap UUPA ini.

Leave a Comment