Soal Konsep Orientasi Negara Hukum

Secara epistemologis, semua domain hukum dikembangkan berdasarkan perkembangan suatu babakan tertentu dari zaman yang berjalan. Suatu zaman, tidak bisa dilepaskan pula dari penguasa yang selalu ada di semua tempat, sebagai pelaksana dari kekuasaan negara. Wajah …

Secara epistemologis, semua domain hukum dikembangkan berdasarkan perkembangan suatu babakan tertentu dari zaman yang berjalan. Suatu zaman, tidak bisa dilepaskan pula dari penguasa yang selalu ada di semua tempat, sebagai pelaksana dari kekuasaan negara. Wajah hukum bisa tercermin dari bagaimana tipologi dari kekuasaan.

Saya demikian, sejarah perkembangan hukum yang terjadi di dunia ini, bisa ditelusuri dengan baik. sejarah ini sendiri, secara khusus juga dapat ditelusuri melalui pembabakan teori hukum. Di pihak lain, teori hukum dapat dipahami melalui perkembangan mazhab-mazhab hukum. Perkembangan mazhab hukum tersebut, pada aras pemahaman yang dominan, dimulai dari berkembangnya mazhab hukum alam hingga apa yang dinamakan dengan studi hukum kritis.

Munculnya berbagai mazhab hukum, umumnya tidak saja disebabkan oleh adanya berbagai perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum, melainkan pada bagaimana perjalanan dan perkembangan kekuasaan suatu tempat atau negara. Untuk bagaimana jalannya kekuasaan ini, melahirkan cara berpikir negara yang lebih hakiki.

Sementara perbedaan pendapat dalam kalangan hukum, secara langsung atau tidak, beriringan dengan dua kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan, yakni: Pertama, lahirnya suatu mazhab hukum yang baru, tidak bisa mengesampingkan mazhab hukum sebelumnya. Kondisi tersebut disebabkan karena lahirnya mazhab hukum baru selalu berawal dari adanya mazhab hukum sebelumnya. Dengan demikian, baik mengkritisi maupun memperbaiki pemikiran, haruslah beranjak dari konsep mazhab hukum yang bersangkutan. Kedua, semua mazhab hukum pada dasarnya mencerminkan tatanan sosial (social order) pada zamannya. Dengan kata lain, suatu mazhab hukum dilatari kondisi sosial yang kemudian melahirkan wajah mazhab hukum yang bersangkutan.

Dua kenyataan tersebut, mencerminkan apa yang dalam perspektif hukum disebut dengan hukum masa sekarang pada hakekatnya merupakan satu kesatuan dengan hukum pada masa lampau. Bagaimana pun bentuk perkembangan dari hukum pada masa sekarang, selalu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dari mazhab hukum sebelumnya (Huijbers, 1988).

Barangkali untuk membantu memahami bagaimana perkembangan itu terjadi, menarik untuk membandingkan dengan apa yang diurai Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang dalam wajah definisi hukum. Berikut lima –mereka  menyebut dengan garis pemandu—dimana dalam mendefinisikan hukum, garis pemandu itu penting kita lihat, yakni (Cahyadi & Manullang, 2008):

Pertama, definisi hukum atau definisi salah satu bagian dari hukum, tidak terlepas dari faktor ideologi. Dalam perspektif mereka, ideologi dikonsepsikan adalah sebuah pandangan yang bersifat seharusnya pada dunia.  Ideologi tersebut ada pada setiap orang, sehingga ketika seseorang mengucapkan hukum, maka ia dipengaruhi oleh pilihan ideologinya. Sifat yang seharusnya dalam ideologi menjadi batasan dan patokan pada hukum yang dikemukakan. Padahal pembicaraan mengenai hukum yang bersifat normatif, karena hukum adalah norma, maka seharusnya ia juga tidak dapat dilepaskan dari ideologinya.

Kedua, hukum selalu mengikutsertakan validitas, salah satu kriterianya pada substansi. Hukum memiliki sumber hukum secara material dan ini bergantung pada konteks masyarakatnya. Kriteria akan validitas tersebut bersifat general dan universal. Kriteria di sini bersifat formal. Hans Kelsen misalnya sangat berjasa memformulasikan kriteria validitas dari sebuah norma yang lazimnya ditentukan oleh hierarki norma. Menurut Hans Kelsen, sistem hukum pada hakikatnya sistem hirarkis dari peringkat tertinggi (grundnorm) hingga peringkat terendah. Hukum peringkat terendah harus selalu berdasarkan, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum peringkat tertinggi (di atasnya). Seandainya bertentangan, maka peringkat hukum yang rendah akan batal dengan sendirinya. Demikian pula dengan tingkat konkret abstraknya. Semakin tinggi kedudukan hukum, semakin abstrak dan semakin umum sifat norma yang dikandungnya. Sebaliknya, semakin rendah kedudukan hukum semakin operasional dan konkret normanya (Kelsen, 1967). Hukum harus dipisahkan dari apa yang disebut dengan anasir-anasir non yuridis seperti anasir etis, moral, sosial, politik, dan sebagainya. Semua unsur non yuridis tersebut harus dimurnikan dari hukum. Konsep demikian dikenal dengan istilah teori hukum murni. Jadi konteks hukum sebagai keharusan dengan hukum sebagai kenyataan, harus benar-benar dipandang sebagai dua hal yang berbeda (Rasyidi, 1982).

Ketiga, hukum sebagai norma yang bersifat deontologis berada dan menghendaki adanya keteraturan dan kepastian. Di sinilah terlihat sifat dan karakter normatif dari hukum. Dalam keteraturan dan kepastian ada patokan ajek yang kita rasakan. Tidak berubah-ubah, tidak pasti.

Keempat, hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas dan pemikiran tentang moral, walaupun keberlakuannya dari keduanya dapat dilihat dalam dua dimensi yang berbeda. Ciri sanksi yang bersifat sosial menjadi pembeda yang sangat signifikan.

Kelima, hukum akan selalu terwujud dalam sebuah keputusan yang berisi sedemikian banyak pertimbangan, termasuk pertimbangan moral, kondisi sosial, kemasyarakatan, kultural, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi elemen yang menyusun penilaian (value judgement). Hal ini tidak dapat dihindari. Substansi atau materi yang bersifat kontekstual dan subjektif sangat lekat pada hukum. Hukum dalam rangka mematoki dan memedomani sikap tindak berisi penilaian-penilaian. Maka “tuntutan” Kelsen untuk memurnikan hukum dari penilaian-penilaian yang nonformal seperti pertimbangan moral, sosial dan politik, sangatlah sukar diwujudkan. Terlebih apabila kita memerhatikan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya seperti lekatnya hukum dengan faktor ideologi.

Leave a Comment