Saya tidak tahu persis berapa yang dihabiskan pembentuk undang-undang dalam rangka program studi banding ke sejumlah negara untuk melihat bagaimana hukum mereka. Terkait dengan hal ini, ada dua hal yang seyogianya tidak dilupakan. Pertama, terkait bagaimana proses pembentukan hukum yang dilakukan di negara lain. Proses ini tentu saja tidak boleh melupakan posisi sistem hukumnya. Secara sosial, dunia sedang tidak bisa dibedakan perbedaan sistem hukum, karena percampuran terjadi dalam banyak hal. Namun yang patut menjadi catatan, jiwa hukumnya yang berbeda pasti bisa ditemukan. Kedua, terkait bagaimana hukum itu dilaksanakan, apa yang menentukan saat hukum itu diimplementasikan kepada masyarakatnya. Saya mencoba-coba menerka teori fiksi yang kita pelajari di kampus-kampus kita. Apakah hal ini dikenal di negara lain yang kehidupannya berdasarkan atas hukum?
Dengan setengah berseloro, saya menjawab pertanyaan mahasiswa dengan sederhana. Pertanyaan mereka, bukankah selama ini, studi banding itu hanya untuk mengambil konsep orang lain lalu membawa ke negara kita? Saya katakan bisa jadi, karena saya tidak memiliki fakta sahih tentang ini. Saya berharap tidak demikian. Studi banding akan menemukan banyak hal terkait dengan hukum, tidak terbatas pada apa yang tertulis dalam teks pasal dan ayat saja. Jika hanya ingin mencari hal demikian, maka sungguh mesin pencari bisa memberi solusi atas kebutuhan teks-teks hukum tersebut.
Butuh daya kreatif untuk menjadikan hukum berdasar jiwa bangsa kita sendiri. Ketika kita memaksakan diri untuk mengambil dari bangsa lain tanpa saringan, itulah yang nanti akan dinamakan sebagai cangkok hukum. Proses ini dilakukan, tidak lain, dengan cara meniru bulat-bulat dari hukum orang lain.
Dalam kajian hukum dan masyarakat, diingatkan sekali bagaimana mencangkok hukum itu harus dilakukan secara hati-hati. Istilah cangkok, sesungguhnya bukanlah istilah hukum. Dalam tanaman, cangkok itu menggunakan bagian tubuh tanaman lain untuk dipindahkan agar menjadi bagian utuh pada tanaman yang kita inginkan. Ia tumbuh begitu saja. Dengan kajian ilmu tanaman, tentu sudah ada kesimpulan tanaman mana yang bisa menyatu dengan tanaman lain.
Istilah ini yang digunakan dalam hukum, dengan maksud untuk menggambarkan ada bagian tertentu dari hukum di negara tertentu, ingin dibawa, dibentuk, dan diterapkan di negara lainnya. Proses cangkok tidak mungkin berlangsung dalam dunia yang setara (equal). Biasanya proses cangkok memungkinkan terlaksana dari mereka yang superior kepada yang inferior.
Cangkok ini juga digambarkan dengan istilah transfer. Apapun istilah, dalam sejumlah negara memang terjadi, termasuk negara kita. Kondisi awalnya karena perkembangan hukum negara yang ingin dibangun. Berbagai negara berkembang yang baru merdeka setelah Perang Dunia II, berlomba-lomba membangun hukumnya sendiri. Sengaja dinamakan hukum sendiri, karena dari berbagai sumber kemudian disatukan dalam hukum nasional masing-masing. Hukum nasional sendiri untuk menggambarkan sebagai bangsa nasional.
Basis pembangunan hukum bisa berangkat hukum berbeda-beda. Kenyataannya pada waktu itu, ada yang berhasil membangun hukumnya dengan baik. Proses inilah yang sebagian besar dikembangkan dari hukum yang dicangkok tersebut. Negara yang dicangkok hukumnya adalah negara-negara yang umumnya kolonial. Dalam suasana yang inferior, ada anggapan bahwa negara kolonial jauh lebih maju dari negara-negara jajahan. Anggapan tersebut disebabkan karena kemampuan negara-negara kolonial dalam menjelajah dunia untuk menaklukannya dengan berbagai alasan. Secara ekonomi, penguasaan dunia terkait bagaimana tumpuk sumber daya bisa dikuasai. Secara sosio antropologis, penguasaan manusia di berbagai belahan dunia, menggambarkan kedigdayaan sekaligus dalam anggapan mereka sedang berusaha mengadabkan berbagai penduduk bumi.
Demikianlah. Pada ahli sosial sendiri beranggapan tidak bisa hukum itu seperti mencangkok tanaman. Hukum yang berlaku dalam ruang sosial, membutuhkan penyaring. Dengan kultur yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, harus menjadi perhatian oleh para pembentuk hukum –tepatnya pembentuk undang-undang. Perhatian ini seyogianya datang dari negara superior, bukan mereka yang inferior. Dominasi menyebabkan stratifikasi, yang secara langsung atau tidak, menempatkan inferior selalu pada posisi yang harus menerima dari mereka yang superior.
Dalam bahasa yang lain, kultur adalah wakil dari wajah kita. kultur bangsa tertentu adalah mewakili wajahnya masing-masing. Mempertimbangkan kultur, sebenarnya sama pentingnya sebagaimana mempertimbangkan kepentingan yang lain, termasuk dalam hal ini upaya pertumbuhan ekonomi. Tetapi banyak bangsa mengabaikan. Seolah-olah dengan target ekonomi bisa tercapai cepat, membuat masalah semua selesai. Tak jarang karena target pertumbuhan ini, sumber daya alam dilego dengan harga murah. Orang luar didatangkan suka-suka. Namun apa yang ditinggalkan kemudian? Sisa-sisa yang akan dipungut oleh para anak bangsa. Antara lain, yang dipungut itu antara lain kerusakan lingkungan yang luar biasa, selain berbagai bencana yang disebabkan karena manusia memperlakukan alamnya dengan penuh suka-suka.
Atas dasar itulah, peningkatan interaksi antarmanusia, dengan berbagai pertimbangannya, harus memahami posisi masing-masing. Jangan abai untuk menjaga semua kepentingan dalam rangka menjaga hubungan antarsemua manusia itu. Bukan hanya untuk manusia dari bangsa tertentu. Jika ini dipahami, maka transfer hukum, cangkok hukum, atau apapun namanya, akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Dengan penuh sensitivitas.