Syiah Kuala, Guru Kami

Judul ini, potongan memang diambil dari salah satu puisi penting Willibrordus Surendra Broto Narendra atau dikenal WS. Rendra –penyair kelahiran Surakarta, 7 November 1975, yang terkenal dengan sebutan si Burung Merak. Secara khusus, ia menciptakan …

Judul ini, potongan memang diambil dari salah satu puisi penting Willibrordus Surendra Broto Narendra atau dikenal WS. Rendra –penyair kelahiran Surakarta, 7 November 1975, yang terkenal dengan sebutan si Burung Merak. Secara khusus, ia menciptakan puisi saat diundang ke Universitas Syiah Kuala tahun 1 Juli 1970, dengan judul “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami”. Puisi ini sendiri, kemudian oleh komponis Mochtar Embut, digubah menjadi hymne Universitas Syiah Kuala. Kolom ini ingin menegaskan dua hal dari nama penting yang kemudian menjadi nama universitas tercinta ini. Pertama, keberadaan seorang pendidik penting menjadi pilihan utama menjadi nama universitas. Kedua, latar belakang tokoh yang berada di tengah ruang sosial masyarakatnya.

Saya terlibat dalam menulis sejumlah buku penting terkait Universitas Syiah Kuala. Atas rekomendasi Yarmen Dinamika, saya mendapatkan kepercayaan Prof. Dr. Dayan Dawood pada tahun 2001 untuk menulis buku 40 Tahun Universitas Syiah Kuala, bersama Bathlimus dan Yarmen Dinamika (Unsyiah Press, 2001). Profesor Dayan Dawood waktu itu sebagai rektor. Dasar ini, kemudian mendapatkan kepercayaan kembali menyelesaikan buku pada era Rektor Prof. Dr. Samsul Rizal yang berjudul Kiprah Kampus Jantong Ate untuk Bangsa, 58 Tahun Universitas Syiah Kuala (2019, USK Press), dan diperbaiki buku Menuju Universitas Mandiri dan Modern, 60 Tahun Universitas Syiah Kuala (2020, USK Press). Kedua buku ini kami tulis bersama Mawardi Umar, Yarmen Dinamika, dan Prof. Wildan. Buku lain profil Rektor Universitas Syiah Kuala yang juga diterbitkan USK Press tahun 2020. Tahun yang sama, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Syiah Kuala, menggarap buku Universitas Syiah Kuala, Sejarah dan Nilai, yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru yang masuk ke kampus ini setiap tahunnya.

Dari proses penulisan buku, secara tidak langsung belajar tentang Syiah Kuala, yang bernama asli Syech Abdurrauf al-Singkili bin Ali al-Jawi yang hidup pada abad 16-17 di Aceh. Syiah Kuala diyakini lahir di Singkil atau Barus. Ditabal namanya dengan Syiah Kuala, karena berkhidmat pendidikan di kuala, sehingga disebut syech di kuala. Ulama ini bukan saja menulis banyak kitab, sebagai pertanda keilmuan seseorang, namun Syiah Kuala memilih tempat yang tidak mendapat perhatian secara langsung banyak ulama. Pilihan ini menggambarkan betapa seorang ulama bergelut dengan kondisi nyata sosial kemasyarakatan di Aceh pada era itu.

Spirit inilah seyogianya menjadi kekuatan utama bagi para akademisi Universitas Syiah Kuala. Mereka yang berada dalam ruang akademikus untuk membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah nyata sosial kemasyarakat di Aceh kontemporer. Bergelut dengan masalah nyata, dengan mendayagunakan pikiran dari jarak dekat, idealnya menjadi cermin dari keberadaan akademisi yang membumi. Akademisi yang berada dalam rumah yang oleh anak cucu tidak mungkin dicap sebagai rumah menara gading.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment