Restorative justice semakin disukai oleh berbagai lembaga penegak hukum. Padahal saat kita telusuri ke belakang, proses bagaimana sebuah sistem hukum terbentuk, sungguh sangat kompleks. Perkembangan penting yang mengiringi dari kemajuan dalam ruang sosial adalah kebutuhan akan hukum yang semakin meningkat. Kenyataannya –dan ini tidak bisa ditampik—bahwa walau era ketertiban semakin dirumuskan secara ketat, namun hukum-hukum yang tidak berwajah tertib tetap menjadi salah satu pilihan.
Saya berangkat dari bagaimana masing-masing tujuan hukum itu bergerak menurut batas-batasnya. Sebagian sarjana menyebut tujuan hukum adalah kesejahteraan. Lalu ada yang menyebutkan, tidak mungkin tujuan hukum bergeser dari salah satu dari tiga: kepastian hukum, kemanfaatan hukum, atau keadilan. Saya sebut salah satu, disebabkan sarjana hukum sendiri juga berbeda pendapat tentang ini –ada yang menyebut kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, bisa diraih secara bersama-sama. Akan tetapi ada yang yakin, ketiganya sebagai sesuatu yang terpisah-pisah.
Saat banyak struktur gandrung pada restorative justive, pertanyaan akademis yang harusnya terjawab adalah basis argumentasi hukumnya ada dimana, antara berbagai pendapat sarjana hukum di atas? Bukankan restorative justice, berada dalam ruang berbeda dari konsep kepastian hukum –suatu keadaan yang dalam cara berhukum kita sangat dominan digunakan?
Pada saatnya, akan terjawab sejumlah keresahan di atas. Biarkan pertanyaan-pertenyaan itu menjadi pemantik agar pada saatnya pula, semua struktur memahami pada posisi mana argumentasi akademik itu mesti tersedia. Walau tidak bisa langsung terjawab, mudah-mudahan pada sisi akademis sudah melihat keadaan itu sebagai sesuatu yang mesti disediakan jawabannya secara ilmiah.
Selama ini pun ada yang beranggapan berbeda. Lihatkan bagaimana perkembangan hukum dalam dunia usaha berlangsung sedemikian ketat, dengan jalan pilihan hukum yang disediakan sedemikian rupa, namun kenyataannya selalu menyediakan jalan penyelesaian damai terlebih dahulu. Kita juga bisa pelajari dari kontrak-kontrak bisnis yang selain terukur, cenderung akhir-akhir ini semakin membuka peluang penyelesaian masalah dari hati ke hati. Bukankah dengan demikian, di tengah kepentingan keteraturan yang ketat, juga memungkinkan adanya kelonggaran dengan pilihan yang berbasis musyawarah. Dalam era ketertiban dan keteraturan, seharusnya penggunaan jalan hukum mutlak, dan tidak ada jalan lain selain jalan itu.
Namun demikian jalan apapun yang dipilih, peran para orang-orang yang ahli dan menguasai hukum semakin penting. Terutama terkait dengan perkembangan suatu daerah, dalam bidang tertentu, terutama bidang ekonomi, harus diikuti oleh perkembangan yang lain. Hukum lalu terpilah dalam wajah hukum tradisional dan hukum modern. Dengan kepentingan hukum modern sekalipun, sebagaimana sudah dijelaskan, pilihan hukum tradisional kadang-kadang juga berlangsung.
Satjipto Rahardjo dan Soerjono Soekanto membedakan hukum tradisional dan hukum modern melalui empat ciri: (1) hukum tradisional memiliki sifat kebersamaan yang kuat; (2) mempunyak corak magis-religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia; (3) sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkret, artinya hukum itu sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan hidup yang konkret; (4) mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak) (Rahardjo, 1980).
Usaha untuk membedakan ini disebabkan ada pergeseran dalam memahami hukum (Warassih, 2014). Pergeseran ini sendiri ditentukan oleh bagaimana negara menggunakan hukum secara sadar sebagai salah satu pedoman penyusunan tata kehidupan sosial. Hukum dimanfaatkan sebagai saluran untuk merumuskan berbagai kebijakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk bidang sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.