Kasus majalah Tempo, secara tidak langsung turut menguji solidaritas. Beredel yang dialami Majalah Tempo pada tanggal 21 Juni 1994, memunculkan gelombang protes tersendiri. Ada tiga media pada waktu itu. Selain majalah Tempo, ada tabloid Detik dan majalah Editorial. Beredel dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Sejarah yang menarik, ketika majalah Tempo menggunakan jalur elegan untuk melawan otoriternya pemerintah waktu itu. Tempo menempuh jalur pengadilan.
Pencabutan izin Tempo terkait dengan pemberitaan yang mengkritik pemerintah. Waktu itu, terkait dengan pembelian sejumlah kapal. Tempo sendiri juga turut andil dalam pemberitaan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi. Dalam kasus terakhir ini, Tempo menggunakan jalur PTUN sebagai ruang gugatan.
Ada yang menarik, terutama sengketa pengadilan dimenangkan oleh Tempo. PTUN DKI Jakarta memenangkan Tempo dan Ketua PTTUN Charis Subijanto memutuskan membatalkan pencabutan SIUPP Tempo. Izin usaha Tempo dicabut dengan Surat Keputusan Nomor 123/Kep/Menpen/1994 tanggal 21 Juni 1994.
Hal yang menjadi pertimbangan Hakim PPTUN waktu itu adalah pada perbedaan izin usaha perusahaan pers dengan pelanggaran awak media. Pencabutan izin berarti melarang adanya kegiatan udsaha. Padahal yang menjadi masalah ada wartawan yang salah, cukup dijerat dengan pasal sesuai undang-undang (Muhid, Pudjiarti, & Pranata, 2024).
Uji solidaritas yang saya maksud, dengan adanya ratusan aktivis dan wartawan yang protes. Mereka melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan. Mereka menuntut Menteri Penerangan, Harmoko membatalkan pencabutan izin usaha majalah Tempo, Detik, dan Editor. Terkait tuntutan ini, pemerintah tetap tidak mengubah. Hanya dengan PTTUN saja yang mengalahkan pemerintah terkait Tempo.
Tempo sendiri juga pernah berhadapan dengan kasus kasus pencemaran nama Tommy Winata. Waktu itu, kasusnya juga sampai ke pengadilan. Berita Tempo menyebut ada Tommy Winata di Tenabang. Tempo waktu itu kalah.
Kasus di pengadilan lainnya juga ada beberapa. Kasus pencemaran nama ini juga pernah terjadi pencemaran nama Soemadi Wonohito oleh Radar Yogya (Risang), atau pencemaran nama Anggota DPRD Deli Serdang oleh Panji Demokrasi (Ramses Siregar). Lalu ada kasus pencemaran nama Rektor IAIN Medan oleh Oposisi Medan (Dahri Uhum Nasution).
Sesungguhnya ada sejumlah kasus di pengadilan yang terjadi dan terkait dengan pers. Misalnya beberapa kasus yang dicatat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pada 29 Mei 1999, Majalah Time edisi Asia memuat pemberitaan dan gambar dengan judul “Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”. Pada waktu itu, keluarga Soeharto menganggap berita dan gambar tersebut sebagai tendensius, insinuatif, dan provokatif. Ada dua kali somasi yang dikirim, akan tetapi tidak ditanggapi oleh Times. Lalu digugat ke PN Jakarta Pusat. PN menolak, lalu dilakukan upaya banding ke PT DKI yang juga menolak. Pada putusan MA No. 3215-K/PDT/2001, upaya hukum kasasi diterima dan MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding, dengan menyebut berita tentang Soeharto sebagai melanggar asas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati, dengan mengenyampingkan UU Pers (ICJR, 2012).
Kasus-kasus yang terjadi, pada dasarnya dapat menjadi pembelajaran dalam hal kebijakan maupun bagaimana kita dalam melihat persoalan yang terjadi. Hanya saja sebagai catatan, penegasan pentingnya kritik sangat penting, di tengah dunia yang semakin alergi dengan kritik (termasuk alergi dengan rasa kritis). Di banyak negara, ruang kritik ini justru semakin dibuka lebar.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
(Sketsa dari kompas.id)