Selain tim pemerintah, ternyata DPRA juga membentuk tim otonomi khusus (Kamaruzzaman, 2020). Tim ini bertugas menelusuri sejumlah hal, yang terkait dengan pemahaman terkait kewenangan pemerintah Aceh, kedudukan qanun Aceh dalam hirarki peraturan perundang-undangan, pembagian hasil sumber daya alam dan mineral antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dan dipermasalahan bahwa regulasinya masih bermasalah dan belum transparan, sistem perpajakan dan perizinan yang masih sentralistik, jangka waktu dana otonomi khusus, penanganan korban konflik dan mantan kombatan, serta transparansi pengalokasian pendapatan. Sejauh ini tim masih bekerja mengkaji berbagai hal yang disebutkan di atas.
Selain itu, masih ada sejumlah hal yang belum dilaksanakan, terutama sejumlah Rancangan Peraturan Peme-rintah yang belum ada, yakni: (1) tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah; (2) standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan pns aceh/kabupaten/kota; dan (3) nama Aceh, dan gelar pejabat pemerintahan Aceh.
Dari ketiga RPP yang belum dibahas, untuk RPP Nama dan Gelar Pejabat Pemerintah Aceh, hingga saat ini belum diajukan. Sedangkan dua RPP lagi masih ada perbedaan pendapat tim Pemerintah dan tim Pemerintah Aceh. RPP Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan dianggap sudah ada UU Kepegawaian, dan RPP Tata Cara Pelaksanaan tugas gubernur dianggap sudah terwakili dalam UU Pemerintahan Daerah dan PP No. 33 Tahun 2018.
Selain itu, menurut tim, ada sejumlah rapat turunan UUPA hingga sekarang terus dilakukan. Masalah yang sering ditemui adalah pejabat yang ikut rapat sering tidak memiliki otoritas dan pengambilan keputusan.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi khusus bagi Aceh adalah mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke Pemerintahan Aceh sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah.
Desentralisasi ini sudah berlangsung sejak dulu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah-an di Daerah, dimana dirumuskan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah-daerah menjadi urusan rumah tangganya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merumuskan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsep otonomi sendiri bukanlah suatu konsep yang tidak netral. Sebagai sebuah konsep, ia dapat menjadi beberapa pilihan sesuai dengan keadaan yang berlaku di suatu negara. Konsep otonomi terkait dengan situasi politik, khususnya di negara Indonesia. Dalam hal ini, salah satu indikator yang bisa dilihat adalah perkembangan otonomi daerah.