Ada pandangan yang harus diubah, setidaknya ketika berbicara pengaruh seseorang, terhadap lingkungannya hidup dan berkehidupan. Orang yang berpengaruh, tidak selalu mereka yang harus bisa menguasai semua daerah. Orang-orang berpengaruh dan berkualifikasi baik, bisa saja ada di kampung-kampung, yang berusaha untuk memperbaiki tempat mereka hidup.
Orang bijak selalu berkata tentang lumpur yang dalam sekalipun berpotensi melahirkan kebaikan. Dari gedung yang megah, rumah yang mewah, tidak selalu tertutup peluang untuk terjadi berbagai keburukan. Orang berjiwa emas, berperilaku emas, walau diambil dari lumpur yang dalam, tetap akan keluar emas.
Para penggelut ilmu, sudah berpikir bahwa orang-orang berpengaruh harus bergerak justru dari kampung-kampung. Dengan pola pikir yang sederhana, semakin banyak kampung yang baik, maka akan berpotensi teritori lebih luas juga akan baik. Memperbaiki kampung harus menjadi pilihan banyak orang. Di samping itu, untuk memperbaiki kampung, tidak harus menjadi orang-orang penting terlebih dahulu.
Satu karib dari kampung, ternyata sudah menjadi tokoh di kampung tempatan. Mungkin Anda setuju bahwa untuk menjadi tokoh, usia mendekati 40 tahun sudah cocok. Kalau di kampung, peran seperti dia itu mirip dengan peran orang tua kampung. Orang-orang di tempatnya tinggal, sudah mulai memberi tahu sesuatu atau menanyakan sesuatu kepada karib saya itu.
Sebutan tokoh, hanya cocok untuk orang yang terkemuka dan kenamaan. Pada aras ini, tentu saya harus berbagi level. Ada yang dikenal luas sejagad, maka ketokohannya juga sejagad. Seandainya kiprah dikenalnya tingkat Indonesia saja, maka bisa disebut sebagai tokoh nasional. Demikian juga dengan daerah, hingga kampung.
Untuk kampung pun, tepat atau tidak tepat, mohon maaf, saya tetap akan sebut tokoh. Tokoh di sini, mungkin harus ditafsirkan juga dengan emosinya. Seorang tokoh itu memiliki ikatan lahir batih dengan kawasan yang oleh orang-orang dianggapnya sebagai tokoh. Seandainya ada orang yang ikatan emosionalnya tidak terbentuk begitu, maka saya ragukan seseorang sebagai tokoh.
Di desa atau kampung, seorang tokoh itu identik dengan tempat mengadu, mencurahkan isi hati bagi orang banyak. Orang kampung memiliki tempat untuk mengadu atau meminta pendapat sesuatu. Persoalan yang dihadapi akan disampaikan, walau proses penyelesaiannya tidak tuntas di tangan sang tokoh.
Saya tidak di kampung ketika berjumpa dengan karib saya itu. Ia sudah tinggal di tempat orang, berdiam di sana, menikah juga di sana. Karena lama sudah tidak berjumpa, saya lalu diajak ke rumah. Saya yakin, bukan karena ingin memberitahukan rumahnya, namun orang jauh memang diterima di rumah akan lebih baik.
Sesampai di rumahnya, saya menyaksikan ia seperti sedang berada di kampung. Ada orang yang butuh uang, orang mau pergi ke luar daerah, hingga rencana pernikahan. Menariknya, ia bukan kepala kampung, tidak juga kepala lorong dan semacamnya. Ia memang sedang dituakan.
Waktu itu, ketika saya di rumah, seorang mengunjung untuk memberitahukan –tepatnya mendiskusikan rencana pernikahan anak mereka. Datang ke sana, ayah, ibu, paman, dan kepala lorong. Mereka menanyakan perihal rencana tanggal mereka menikahkan anaknya. Mereka malah memastikan agar sang tokoh ada bersama mereka di hari itu. Ketika ia menandai kalendernya, semua mereka merasa puas dan pulang.
Saya belum diizinkan pulang dan harus menginap di rumahnya semalam. Besoknya saya diajak ke tempat hajatan kampung. Di sana, yang dipersilahkan untuk memberikan kata-kata sambutan ternyata bukan kepala kampung. Dalam hal ini, benak saya bertanya-tanya. Saya belum berani menanyakan ke karib soal itu.
Waktu itu, karib saya mendapat tempat untuk memberikan kata-kata sambutan, baik atas nama keluarga maupun kampung. Ketika maju ke depan dan memegang mikrofon, ia menoleh ke tempat duduk saya. Tidak ada senyum.