Proses untuk menyelesaikan konflik secara damai, sudah dimulai sejak sebelum tsunami. Era Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, sudah pernah dikirimkan Bondan Gunawan sebagai Sekretaris Negara. Ia menemui Panglima GAM, Teungku Abdullah Syafei, pada tanggal 16 Maret 2000.
Seiring dengan kesepakatan damai, sejumlah kebijakan presiden dikeluarkan, misal lahirnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2002 tentang Peningkatan Langkah Komprehensif dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh. Lahirnya Instruksi Presiden ini untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh.
Ternyata berbagai perkembangan dan peta jalan dialog dari awal, belum menemui jalan terang. Baru akhirnya, secara lebih menyeluruh, dilakukan lagi setelah terjadinya bencana tsunami pada Hari Ahad, tanggal 26 Desember 2004, sekitar pukul pukul 07.58 WIB. Tsunami ini didahului gempa dengan kekuatan 8,9 pada skala richter.
Bencana terbesar sepanjang sejarah menelan tak kurang dari 220 ribu jiwa. Bencana ini telah membuka peluang jalan damai penyelesaian konflik Aceh. Jumlah korban, menjadi kerumitan tersendiri karena semua angka tidak melalui satu pintu. Belum lagi para korban selamat yang harus mengungsi dan terbaring di tempat-tempat perawatan yang awalnya juga masih kacau. Para proses awal evakuasi, tidak berlangsung secara serentak mengingat belum ada pihak yang mampu mengkoordinir dengan baik. sehingga kondisinya yang tampak mayat-mayat yang bergelimpangan; termasuk yang di bawah puing reruntuhan bangunan, dan di dataran pinggiran kota yang sudah menjadi rawa-rawa berisi lumpur hitam di dalamnya.
Banyak orang, spontan memberikan bantuan untuk korban tsunami. Sungguh sumbangan sangat tulus. Sangat ikhlas. Di televisi, kita juga mendengar isak tangis di mana-mana, padahal mungkin mereka tidak mempunyai keluarga langsung di Aceh. Rasa kemanusiaan itu sungguh besar nilainya.
Datangnya para sukarelawan beberapa negara ke Aceh, melahirkan berbagai kecurigaan dari beberapa pihak –termasuk beberapa petinggi negara. Ini wajar karena di Aceh memang sedang berkonflik. Tapi semua proses saya kira berjalan dengan baik dan bijaksana.
Keadaan pelan-pelan berubah. Korban yang membutuhkan perawatan medis bukan sedikit, sedangkan tenaga medis dan obat-obatan juga tidak tersedia. Tak juga arif menyalahkan tenaga medis, waktu itu, karena banyak mereka dan keluarganya juga menjadi korban.
Ada proses penanganan korban hendaknya dapat menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita selanjutnya. Isu diplomasi bencana menjadi penting mengingat tsunami akan berdampak pada banyak hal lainnya di sekitar kita.