Umur

Waktu itu digambarkan seperti pedang, yang mana seseorang tidak mungkin menariknya kembali atas waktu yang sudah disia-siakan begitu saja. Seseorang hanya bisa memanfaatkan waktu yang akan datang, dengan memanfaatkan dan menatanya secara optimal. Ketika berbicara …

Waktu itu digambarkan seperti pedang, yang mana seseorang tidak mungkin menariknya kembali atas waktu yang sudah disia-siakan begitu saja. Seseorang hanya bisa memanfaatkan waktu yang akan datang, dengan memanfaatkan dan menatanya secara optimal.

Ketika berbicara waktu, selalu ada pertanyaan mengenai: seberapa banyak waktu yang kita miliki? Apakah seseorang bisa menakar berapa banyak waktu yang tersedia untuknya? Barangkali untuk waktu yang sudah berlalu, seseorang bisa menghitungnya. Sementara untuk waktu yang masih tersisa, kita tidak tahu berapa banyak masih sisa tersebut. Bisa jadi satu atau dua detik ke depan, kita sudah tiada. Atau mungkin 10 tahun atau bahkan kita akan tiba kembali seperti yang dijanjikan Pencipta, yakni kita berada pada kondisi seperti anak-anak atau bayi kembali. Dari segi umut memang tua, namun pada saat itu, secara psikologis dan perilaku, posisi yang bersangkutan tidak lebih seperti anak-anak yang baru lahir. Sudah tidak mengerti, tidak ingat, bahkan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Pertanyaan mengenai sampai kapan, tentu kita tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Kita hanya menduga. Orang yang bijaksana akan menyebut selalu bila masih ada umur panjang, atau bila Allah masih mengizinkan. Tidak mungkin mengatakan sesuatu secara pasti pada posisi sisa waktu yang dimiliki dalam wilayah tidak pasti. Waktu yang tersisa seyogianya memberikan kekuatan bagi kita untuk meluruskan pandangan, bertekad untuk memperbanyak hidup lurus, dan tidak menambah catatan negatif dari kehidupan yang dijalani.

Maka atas perjalanan waktu demikian, pertanyaan selain berapa banyak waktu yang sudah kita habiskan, adalah kemana waktu yang tersedia itu kita gunakan? Apakah semua waktu yang ada selalu terukur penggunaannya untuk yang baik-baik saja? Ataukah disela-sela perbuatan yang baik, ternyata kita masih menyelinginya dengan perbuatan yang tidak baik. Atau bahkan kita juga menggunakan waktu untuk melakukan hal-hal yang mengerikan?

Ketika hal demikian kita lakukan, maka pertanyaan lain adalah mengapa hal-hal yang tidak baik itu kita lakukan? Pertanyaan ini lebih penting ketimbang menanyakan alasan mengapa pertanyaan baik kita laksanakan –yang jawabannya sudah jelas—untuk mencapai hasil yang baik. Tidak boleh dilupakan tentang ada korelasi antara perbuatan baik dan penggunaan waktu. Perbuatan baik akan mencerminkan penggunaan waktu yang efektif –imlikasinya adalah kepada pertanggungjawabannya.

Waktu yang digunakan oleh manusia tidak berlalu dengan sendirinya. Seperti hal yang lain, soal harta dan kesehatan, selalu ada pertanggungjawaban. Apakah selama kita hidup dengan berlimpah ruah harta –atau minimal tidak berkekurangan dalam hidup, sudahkah kita pergunakan hal tersebut untuk selalu melakukan perbuatan yang baik. Jika belum, mengapa hal tersebut tidak bisa kita lakukan.

Ada sebagian orang yang memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban. Padahal tidak bisa tidak. Ironisnya, ada juga yang memisahkan hidup dunia dengan kehidupan setelah dunia. Dalam kehidupan yang dijanjikan, setelah kehidupan dunia, masih ada kehidupan panjang yang akan dijalani oleh semua manusia. Dalam kehidupan panjang itulah, apa yang kita perbuat di dunia akan kita dapatkan hasilnya di sana. Seperti kita berkebun, bahwa dunia itu adalah tempat menanam, di mana suatu saat nanti kita akan memetik hasil yang kita tanam tersebut. Orang yang tidak menanam apa-apa, maka ia tidak akan memungut apa-apa pada akhirnya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment